Selasa, 14 Januari 2020

Aku Bukan Cleopatra part 40

Part 40.
"Aku juga punya ujian. Mungkin lebih pilu dari ujianmu. Entahlah, aku selalu merasa ujianku lebih berat dari yang lain". Tiara bercerita. Di kamar, usai kajian. Teman-teman yang lain menggunakan masa terjaga untuk menambah tilawah.
Aku berdua dengan Tiara di kamar.

"Aku dulu hampir menikah. Lewat proses ta'aruf. Setelah nadzor & istikharah, kami putuskan maju ke pelaminan.
Pihak keluarga Dzul sudah ke rumahku. Dari keluargaku juga sudah ke rumah Dzul. Tanggal pernikahan sudah ditetapkan. Tiga bulan dari kunjungan keluarga Dzul".
Tiara terdiam. Nampak berat untuk melanjutkan.

"Mommy & Papa sebenarnya sudah lama hubungannya bermasalah. Papa selain sibuk, juga sangat dekat bahkan menurutku terlalu dekat dengan sektarisnya. Mommy waktu itu ketemu dengan sahabat lamanya waktu SMA saat reuni. Sahabat mommy sekarang sudah menjadi pengusaha dan  tokoh agama.  Akhirnya rumah tangga Mommy & papa tidak bisa dipertahankan. Sebulan sebelum tanggal pernikanku, mommy dan papa bercerai"
Tidak ada air mata yang mengalir di pipi Tiara. Yang  mengembun pun tidak. Tiara yang tegar. Aku tetap menyimak.

"Kabar itu akhirnya sampai pada Dzul dan orang tuanya. Ibunya Dzul meminta agar rencana pernikahan kami dibatalkan. Dzul sebenarnya keberatan. Tapi dia sadar betul kalau anak lelaki adalah milik ibunya. Maka pernikahan pun batal".
Aku memeluk Tiara. Aku bisa merasakan sakitnya seperti apa. Dua luka yang datang bertubi-tubi.

"Tiara sekarang tinggal sama siapa?". Aku memberanikan diri bertanya.
"Aku kos. Aku tinggal sendiri. Adikku yang laki-laki memilih pergi jadi TKI di Saudi".
"Ga memilih tinggal sama mommy atau papa?"
"Mommy jadi istri keduanya ustadz pengusaha, teman SMAnya. Papa menikah dengan sekretarisnya. Sekretarisnya usianya sudah diatas tiga puluh. Papa pernah ijin mama untuk menikahinya, tapi mommy tidak bisa terima dan mengancam akan menceritakan semua aib papa pada eyang, ayahnya mommy. Dulu apa menjalankan perusahaan punya eyang, tapi setelah digugat cerai oleh mommy, papa juga dipecat oleh eyang, sekretarisnya juga. Papa sekarang punya perusahaan sendiri. Dan pelanggannya adalah pelanggan lama waktu masih pegang perusahaan kontraktor punya eyang".
"Kamu hebat Tiara". Aku menyemangati.
"Aku tak menyangka bahkan aku pikir yang lainpun tak ada yang menyangka kalau kamu punya beban seberat itu".
Tiara tersenyum.

"Tiara tidak mencoba membuka hati, tidak coba ta'aruf lagi?". Aku bertanya hati-hati.
"Sudah kucoba beberapa kali. Tapi belum ada yang berhasil".
"Masih menunggu Dzul?". Aku sebenarnya agak khawatir Tiara akan tersinggung dengan pertanyaanku.
"Ngga, Dzul anak yang tidak berani melukai hati ibunya. Tapi Dzul memang belum menikah. Dia melanjutkan studi ke Denmark. Dia sekarang tinggal di Kopenhagen".
"Kalian masih suka komunikasi?"
"Sesekali. Kami tahu posisi kami. Meskipun Dzul belum juga mau membina rumah tangga. Semoga dia segera Allah pertemukan dengan jodohnya".
Tiara menarik nafas panjang.
Hatiku membisikkan do'a untuk Tiara. Semoga ibunya Dzul Allah bukakan hatinya untuk mau menerima Tiara apa adanya.

****

Meski waktu terasa sangat lambat dalam jadwal padat di RPQ ini, aku menikmatinya.
Sudah tiga purnama aku tinggal di sini bersama semua sahabat seperjuangan. Tidak selalu mulus memang. Ada saja masalah. Tapi masalah adalah cara Allah mendewasakan. Semua bisa teratasi.

Hari ini aku ijin untuk pulang selama lima hari. Tiga hari lagi aku wisuda. Setelah itu aku bersama keluarga rumah tahfidz akan ikut kegiatan pengambilan sanad di Vila Dewi.

Hari pertama, aku langsung menuju rumah sakit. Ada rasa bersalah karena lama tak menengok Adlan yang masih terbaring. Walaupun komunikasi dengan umi.dan abi tetap terjalin lewat voice call. Umi dan Abi juga rajin mengirimkan foto-foto Adlan.

Seperti biasa. Umi selalu menyambutku dengan pelukan.
Ada gurat lelah yang semakin pekat di wajah umi dan abi.
Aku bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Tapi aku tahu mereka kuat. Maka aku juga harus kuat.

Pagi itu ada Zamzam dan Dinda di rumah sakit. Nampaknya Zamzam sudah sembuh. Ada bayang kesedihan di mata Dinda. Mungkin karena belum juga ada tanda-tanda bahwa mereka akan Allah titipkan momongan. Aku hanya bisa mendoakan.

Aku langsung minta ijin untuk membacakan Quran.
Tak terasa tujuh juz kali ini bisa kubacakan. Hanya ditemani sebotol minum air mineral. Aku bersyukur.
"Mas, besok Andin wisuda". Lirih ku berkata pada Adlan yang terbaring. Aku hanya punya keyakinan bahwa Adlan mendengar meski tak bereaksi sama sekali.
"Mas, lusa Andin mau tasmy dan ngambil sanad hafalan. Terima kasih ya Mas, sudah membimbing Andin jadi hafidzoh". Mataku mengembun lagi.
"Ayo Mas bangun, kita menghafal bersama. Bangun mas".
Tiba-tiba ada kehangatan di bahuku. Tangan umi.
Aku memeluk umi. Kali ini tangisku pecah di peluknya.

Setelah isakku mereda aku pamit. Banyak yang harus disiapkan untuk wisuda.
"Nanti pas acara wisuda, Andin tunggu di kampus ya". Begitu pesanku pada umi, abi, Zamzam dan Dinda.

Wisuda. Sesuatu yang sangat dinanti semua mahasiswa setelah berjibaku dengan aneka mata kuliah, aneka tugas juga aneka ujian. Akhirnya sampai juga waktuku.

Aku merias diri dengan riasan sederhana. Gamis batik warna hijau dari Butik Ibu Nura itu yang kukenakan di acara spesial ini.

Mama, Bapak, dan semua pengurus yayasan mengantar aku dan Nura yang sama-sama wisuda di gelombang kedua ini.
Nura semakin gendut saja. Terlihat semakin kepayahan di usia tujuh bulan kehamilan.
Kami kumpul di rumah tahfidz. Semua santri dan ustadznya ikut. Karena setelah wisuda akan langsung menuju Vila Dewi. Ada enam mobil yang disiapkan untuk mengangkut semuanya. Ada tiga mobil sewaan, selebihnya adalah punya bapa, Hamid, Hamdi dan Mukhlis.

Mobil berjalan beriringan. Konvoi. Mungkin aku dan Nura lah yang pengantarnya paling banyak. Sebagian orang mungkin akan mengira kalau ini adalah konvoi mengantar pengantin.

Seperti biasa. Acara yang paling menarik adalah saat foto-foto.
Aku berfoto bersama Nura dan semua keluarga besar pengurus yayasan.
Aku juga menyempatkan diri berfoto berdua dengan Nura.

Aku tengah berfoto bersama keluarga angkatku. Ibu Nura, Nura, Hamid, Hamdi, Arina dan Rika ketika Zamzam, Dinda, umi dan abi tiba. Entahlah aku selalu menangkap pandangan tidak suka dari Zamzam jika bertemu Hamid. Tapi sudahlah.
Aku langsung berfoto dengan keluarga umi abi. Tanpa Adlan.

Setelah berbincang sejenak. Aku pamit pada umi abi.
"Kami mau ke Vila Dewi bersama rombongan santri rumah tahfidz. Syaikh Masur Ali dari Mesir sudah terlebih dahulu tiba di Vila Dewi".

Umi memelukku erat. Aku balas memeluknya.

Konvoi dilanjutkan menuju Vila Dewi di puncak.
Meski ada beberapa titik kemacetan, kami menikmati perjalan ini.

Suasana sejuk menyambut kami. Hamdi bersama Mukhlis langsung membagi kamar untuk santri. Hamid menemui Syaikh Mansur Ali. Diantara kami semua, Hamid yang paling fasih berbahasa inggris dan bahasa Arab.

Aku langsung ke kamarku bersama bapak dan mama.
Kasur yang empuk di rumah kayu. Tanpa pendingin ruangan pun, kamar ini.sudah dingin.
"Bada Ashar kita kumpul di Aula". Pesan masuk di group YRT Perindu Surga. Group whatsapp Rumah Tahfidz.

Hamdi sebagai ketua acara memimpin semua kegiatan.
Mukhlis membagi jadwal untuk tasmi dan pengambilan sanad. Semua dibagi menjadi 3 bagian. Tiga hari.
"Anti mau ngambil jadwal pertama atau terakhir?". Mukhlis memberikan aku pilihan.
"Terakhir". Jawabku pendek.

Suasana selalu ditutup dengan syahdu setiap selesai kegiatan tasmy dan pengambilan sanad. Hingga giliranku tiba.
Hatiku sibuk meluruskan niat. Aku melakukan semua untukMu ya Allah, bukan untuk makhluqMu, siapapun ia. Aku hanya ingin ridhoMu ya Allah, bukan yang lain. Aku hanya ingin memujiMu, aku memohon ampun, dan berlindung padaMu sekiranya ada pujian yang ditujukan padaku.

Sama seperti santri yang lain. Syaikh Mansur Ali menyimak dengan seksama hafalanku. Semua santri hadir menyaksikan. Bapak dan pengurus yayasan turut hadir juga. Aku tak melihat mama. Biasanya mama memang sibuk memastikan konsumsi untuk kami.

Tasmi dimulai. Kulantunkan kalam ilahi sepenuh hati. Hanya berharap ridho dan kasih sayangNya saja. Tak ada harapan lain.
Sepuluh juz aku lantunkan.
"Mumtaz". Begitu aku dengar Syaikh berkata usai kuselesaikan hafalan.
Air mataku berderai. Terima kasih ya Allah.

"Andin". Mama memanggil.
Aku mendekat.
"Adlan menelpon, video call". Mama menyerahkan handphonenya.
Di layar handphone aku melihat Adlan tersenyum. Tengah duduk bersandar di tempat tidur rumah sakit. Tanpa kabel-kabel yang selama ini selalu terpasang.
"Mas Adlan sudah sembuh?". Aku bertanya dalam air mata bahagia.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar