Sabtu, 18 Januari 2020

Labirin Cinta Andini part 1

Labirin Cinta Andini.

Kamu tahu,
Hidup adalah petualangan antara tangis dan tawa.
Jangan lihat bahwa tangis semata hanya kepedihan
Pun tawa tak semata tentang bahagia.
Kadang Allah jadikan kebalikan
Bukankah ayah dan ibu menyambut kita dengan bahagia saat kita hadir di dunia dengan tangisan?

Kamu tahu
Hidup ini hanyalah permainan.
Allah hadirkan kita di dunia ini untuk bermain memerankan peran yang Dia titipkan.
Bukankah dalam permainan kita temukan kebahagiaan? Meski kadang hati dihinggapi kekesalan jika kekalahan yang kita dapatkan.
Namun tetap saja permainan adalah sebuah kebahagiaan.
Bahagia, jika kita jalankan permainan ini sesuai aturan.
Lalu aturan siapa yang akan gunakan?


***

"Laa haula wa laa quwata illaa billaah"
Bibir Adlan berdzikir lirih.
"Laa haula wa laa quwata illaa billaah".

Bi Lina mendekati.
Degup jantungnya berdegup kencang. Ia menatap lekat.
Tidak.
Ini tidak salah. Adlan tengah melantunkan dzikir.
Cepat ia menombol tombol untuk memanggil perawat.

Seorang perawat lelaki segera datang.
"Ada apa Bu?". Ia bertanya.
"Adlan, ia mengatakan sesuatu".

Perawat langsung memantau layar monitor di dinding yang menunjukan tanda-tanda kehidupan.
Memastikan semua kabel-kabel yang terpasang di dada dan di tangan Adlan.

"Ibu sendiri di sini?". Tanya perawat.
"Yang lain sedang dalam perjalanan menuju ke sini".
Perawat mendekat. Melihat ke arah wajah Adlan.

Adlan tengah berjuang.
Dalam dzikirnya ia merasa seperti dalam lorong waktu berbentuk kumparan.  Tubuhnya meluncur dalam kumparan lorong waktu itu. Kumparan waktu berwarna putih, makin jauh kumparan itu membiaskan warna pelangi. Tubuh Adlan terus meluncur mengikuti spiral lorongnya.
"Laa ilaha lillaah, laa haula wa laa quwata illa billaah". Volume suara Adlan meninggi.

"Mas, bisa dengar saya?". Perawat bertanya pada Adlan.
"Laa haula wa laa quwata illaa billaah". Bibir itu masih berdzikir.

Perlahan matanya membuka. Mata yang disambut sinar yang menyilaukan, namum menangkap bayangan yang buram. Di mata Adlan, ada delapan bayangan wajah yang buram milik.seseorang. wajah yang tengah menatapnya. Wajah perawat.
"Laa haula wa laa quwata billaah".

Pintu kamar perawatan terbuka.
Umi, abi, Zamzam, Dinda baru saja tiba.
Bi Lina tergopoh mendekati.
"Adlan, Adlan". Hanya kata itu yang bisa keluar dari mulut Bi Lina.
"Ada apa?". Umi bertanya cemas.

Zamzam tak bertanya. Ia langsung menuju tempat Adlan terbaring.
Adlan masih melantunkan dzikir.
"Laa haula wa laa quwata illaa billaah". Namun matanya mulai terbuka.

Pelan tapi pasti, mata itu bisa menangkap bayangan dengan utuh. Tak ada lagi pembiasan cahaya.
"Kak, alhamdulilah,". Dua kata keluar dari bibir Zamzam.
Zamzam memegang tangan kakaknya erat.
Ada keharuan menyeruak di dadanya. Haru yang harus ditahan derunya agar tak menderas jadi air mata.
Tidak. Zamzam khawatir, jika ia menangis akan melemahkan kakaknya yang baru terbangun.

Mata yang selama berbulan-bulan tertutup, kini telah terbuka.  Penantian yang lama akhirnya tiba pada waktunya.
Do'a-do'a yang tak henti dipanjatkan oleh orang-orang yang mencintai Adlan telah dikabulkan.
Pintu langit yang telah lama diketuk kini telah membukakan rahmatNya.
Bahagia kini tengah menampakkan dirinya setelah beberapa purnama bersembunyi dalam tanya.
Adlan telah sadar.

"Adlan, kamu sudah bangun, nak?, alhamdulillaah ya Allah, alhamdulillaah". Umi bertanya. Matanya berembun. Embun yang mulai jatuh membentuk sungai kecil di pipi.

Adlan mencoba tersenyum.
"Umi, Abi". Hanya itu yang keluar dari mulutnya.

Dokter jaga datang bersama seorang perawat. Memeriksa dan memastikan keadaan Adlan.
"Gimana, Mas, apa yang dirasa?". Dokter bertanya.
"Sedikit pusing". Jawab Adlan pendek.
Perawat memasangkan alat pengukur tensi darah. Mencatatnya.
"Normal dok". Kata perawat.
Setelah melapor. Ia mencatatnya.

"Kabel-kabelnya belum dicabut dok?".
Zamzam bertanya.
"Kita tunggu dokter Arman dan Dokter Dwi, ahli syaraf & ahli penyakit dalam". Jawab dokter jaga.
"Baik dok".

Adlan masih terlihat lemas.
Ia menatap semua satu persatu.dengan lekat.
Umi yang menatapnya dalam haru dan bahagia.
Abi yang selalu terlihat tegas dan berwibawa, kini wajahnya tak lagi menyembunyikan bahagia yang luar biasa.
 Bi Lina, adik bungsu abi yang selalu mengasuh dan menemaninya dari kecil, menemukan kebahagian tak terhingga. Seperti bahagianya seorang ibu yang telah menemukannya kembali setelah beberapa lama menghilang.
Zamzam, adik yang begitu ia sayangi. Adik yang selalu dijaga dan dibimbingnya dalam menghadapi segala macam permasalahan kehidupan yang dihadapi. Adik, teman berjalan, teman berpetualang dan kadang jadi teman berantem seperti sparing partner.
Dinda adik ipar sahabat Andini.
"Andini?". Adlan bertanya menatap semuanya satu persatu.
Seilah berharap salah satu diantara mereka bisa membawa Andini ke.sisinya saat itu juga.
"Andini?". Kedua kali Adlan bertanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar