Rabu, 29 Januari 2020

Labirin Cinta Andini part 11

Labirin Cinta Andini
(Oleh Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 11

Cinta, adalah kebaikan dan keindahan yang Allah berikan pada manusia.
Cinta adalah cahaya yang dengannya Allah ijinkan manusia saling memberi bahagia antar sesama.
Cinta adalah hidup dan kehidupan itu sendiri.

Dia.yang tak mencinta sebenarnya tengah kehilangan cahaya.
Dia yang buta karena cinta adalah yang menyimpan cinta dimatanya, bukan di hatinya.
Dia yang melukai karena cinta adalah dia yang menyimpan cintanya pada ego yang membara.
Dia yang terluka karena cinta adalah dia yang menyimpan cinta hanya pada angannya.

Maka dia yang bahagia karena cinta adalah yang menyimpan cinta di atas sajadahnya.
Dia yang menyimpan cinta pada do'a do'anya.
Dia yang menyimpan cintanya di langit, hingga turun jadi hujan penuh keberkahan atau menjadi mentari yang menghangatkan.

**

Andini mencari pakaian terbaiknya. Siapa Widya? Mengapa sepagi ini mencari Adlan?.  Adlan masih di kamar mandi. Andini ragu, apakah perlu memberitahu dan turun bersama?.  Ia berjalan ke arah kamar mandi. Mengangkat tangan untuk mengetuk pintunya.  Namun hatinya memilih tidak.
Hatinya memilih untuk turun sendiri.

Seorang gadis cantik, bergamis hitam, berkerudung hitam berhiaskan bunga warna pink tengah duduk menanti. Ia memandang ke luar. Ke arah taman yang nampak dari jendela samping.

"Assalamualaikum". Andini menyapa.
"Wa'alaikum salam". Widya menjawab.
"Maaf jadi lama menunggu". Andini menyalami Widya. Memeluk, lalu saling cipika cipiki.
"Ngga koq". Widya mengelak.

"Saya Widya, staf bagian keuangan di kantor". Widya memperkenalkan diri.
"Dapat kabar dari Pak Zamzam kalau Pak Adlan sudah nikah".
"Pak Zamzam mengabarkan ke semua karyawan?". Andini bertanya.
"Hanya ke staff inti".
"Ooh, iya mohon maaf kami belum mengabari sendiri, semua serba mendadak. Ya, sekalian memanfaatkan waktu cuti yang diberikan dokter". Andini menjelaskan.
"In syaa Allah nanti resepsi dan syukurannya bulan depan". Andini menambahkan.

"Ini ada sekedar hadiah". Widya menyampaikan.
"Terima kasih". Andini menerima.
"Mba Widya tinggal di mana?".
"Di Lake side".
"Deket Novotel dong"
"Iya, Novotel emang ada di dalam komplek Lake side, tapi agak jauh dari rumah". Widya menjelaskan.
"Oh,". Andini seolah kehilangan kata-kata.
"Silahkan diminum dan dicicipi". Akhirnya kalimat itu yang keluar.

Widya meminum teh manis hangat yang dihidangkan.
Andini juga.
Andini membukakan toples kue sagu keju yang dihidangkan.
"Silahkan". Andini menawarkan.
Widya mengambil satu.
"Jam berapa dari rumah, biasa berangkat pagi ya?" Andini mencoba mengakrabkan diri, memecah kekakuan yang dari tadi mengganggu hatinya.
"Biasa berangkat jam setengah delapan, tapi tadi sengaja berangkat lebih awal".

Andini melihat jam yang berdiri di sudut ruang waktu.
Jarum penunjuk detik seolah sengaja melambat.
Widya mengambil kue yang disajikan.
"Ini kuenya enak dan spesial rasanya. Buat sendiri?". Widya bertanya.
"Iya, kebetulan saya suka baking". Andini menjawab.
Widya melihat jam di tangannya.
"Pak Adlan sehat Mba?". Widya bertanya.
"Alhamdulillah sehat, in syaa Allah besok mulai aktif ke kantor". Andini menjawab.
Keduanya terdiam. Seolah sama-sama mencari kata dan kalimat yang tepat.

"Assalamualaikum". Adlan datang. Terlihat santai dengan kaos berkerah dan celana panjang dari bahan canvas. Namun kesan wibawa dan elegan seolah telah menjadi ciri khas Adlan. Bahkan dengan pakaian santai dan rambut masih terlihat basah.
"Wa'alaikum salam". Andini & Widya menjawab bersamaan.

Andini beranjak menyambut Adlan.
Widya duduk, seolah terpaku.
Entah apa yang ada dalam perasaannya.
"Mas, ini ada staff mas". Andini mencoba memposisikan diri di sebelah Adlan.

Widya melihat sepasang kekasih yang sangat serasi. Sempurna bahagia sebagai pasangan. Ia melihat hatinya.
Sudah lama hatinya menyimpan mimpi untuk berada di posisi Andini. Sudah sangat lama sekali. Namun sekuat apapun usahanya tak jua membuat jarak antara dia dan Adlan makin mendekat.
Adlan sebagai pemilik dan pemimpin perusahaan seolah selalu memberinya dinding kaca yang tebal dengan tulisan : aku adalah pimpinan.

"Pagi Pak". Widya berdiri sambil menganggukan kepala.

Adlan hanya tersenyum.
"Temen-temen titip salam dan selamat untuk bapak". Widya menyampaikan.
"Terima kasih, sampaikan salam kembali untuk semua". Adlan menjawab.
Widya melihat jam tangan.
"Sepertinya saya akan telat nih, jam segini biasanya macet. Saya harus pamit". Ungkap Widya.
"Oh iya, sebentar". Andini berjalan ke dapur. Meninggalkan Adlan dan Widya berdua.

Andini memberikan 3 tas bingkisan.
"Ini ada beberapa toples kue, mungkin bisa dicicipin di kantor. Yang ini spesial buat Mba Widya".
"Makasih, jadi merepotkan nih". Widya menerima dengan suka cita.
"Ngga, kebetulan lagi ada". Andini menjawab.

Andini berjalan di sisi Adlan. Berdua mengantar Widya hingga ke teras.
Widya berlalu dengan mobilnya.

"Widya sudah lama kerja di kantor Mas?". Andini bertanya.
"Sekitar tiga tahunan".
"Oooh, baik amet ya sampai nyempetin ke sini". Andini berkata dengan nada tak suka.
"Ini ada kado dari Widya". Andini membawa kado yang tersimpan di meja.
"Kita buka yuk, sama kado semalam dari teman-teman rumah tahfidz".
Andini menganngguk. Mereka berjalan ke kamar.

"Neng, sarapan dulu". Bi Inay menawarkan.
"Nanti aja bi, belum lapar". Andini menolak halus.

Dua lembar sajadah roudhoh berwarna hijau. Itu hadiah dari Hamid.
Dua.lembar kain batik berwarna biru toska. Hadiah dari ibu Nura.
Andini membuka hadiah dari Widya. Sebuah handuk mantel untuk pria.
Andini memandang tak suka.
Ia berjalan ke arah lemari.
Mengambil gunting kemudian mulai menggunting kado dari Widya.

"Ada apa De, koq di gunting?". Adlan melihat tak percaya.
"Mau aku buat jadi handuk-handuk kecil, mau aku kasih ke santri tahfidz, biar bermanfaat". Andini menjawab.

Adlan memeluk Andini.
"Mas tahu apa yang ada dalam perasaanmu. Tapi di hati Mas hanya ada kamu De, tidak pernah ada yang lain".

Tiba-tiba Andini teringat perkataan umi, bahwa Adlan sulit jatuh cinta. Hatinya sedikit lega. Namun terbayang juga dalam benak Andini tentang Ahsani, meski.sudah tiada.
Andini melanjutkan menggunting.

Adlan mengambil gunting di tangan Andini.
"Biar Mas aja yang gunting, mau  dibuat jadi berapa?".
Andini diam.  Ia kembali ke arah lemari. Mengambil gunting yang lebih kecil. Kembali menggunting mantel handuk.
Adlan memperhatikan. Melihat ukuran yang digunting. Lalu mengikuti.

Dering handphone Andini terdengar. Dari Nura.
"Andini, bisa tolong aku?, ketubanku pecah, Mukhlis tadi Malam ke Jogja". Suara Nura terdengar lemah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar