Labirin Cinta Andini
( Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )
Part 13.
Barangkali taqdir adalah pakaian terindah bagi hidup setiap manusia.
Pakaian yang sangat pas di badan.
Pakaian yang sangat cantik dan sesuai dengan lekuk tubuhnya.
Pakaian yang sangat sempurna menemani penampilan hidup manusia.
Hingga taqdir setiap orang hanya cocok untuk masing-masing pribadi.
Tak akan pernah ada taqdir yang sama.
Setiap taqdir indah pada hikmahnya.
Setiap senyum yang tersungging pada goresan taqdir adalah penyempurna indahnya.
Setiap air mata yang tertumpah pada lukisan taqdir ibarat gunting yang menyempurnakan polanya.
Tidak akan pernah ada taqdir yang salah. Karena yang menetapkannya adalah Allah yang Maha Benar dengan segala kuasanya.
Tidak akan pernah ada taqdir yang terlalu berat, karena Allah hanya membebankan sesuai kekuatan yang ia titipkan pada hambaNya.
Tidak ada taqdir yang menyiksa jika manusia ridho dan tak cinta dunia.
Taqdir setiap hamba beda. Tak satupun yang sama
Allah hanya ingin setiap hamba mengambil pelajaran dari hamba lainnya.
Sungguh indah sempurna semua catatanNya.
Pun.dengan taqdir kehidupan dan kematian.
Hidup yang bermula dengan perjuangan meregang nyawa, hingga tangis disambut bahagia, ketika bayi terlahir ke dunia meski hanya sementara.
Kematian pasti akan datang, namun sering dilupakan. Entah bagaimana saat hamba berpulang, namun selalu diantar dengan tangis pilu penuh duka.
*
Nura telah berbaring di ranjang pengantar. Siap di antar ke ruang oprasi. Andini mengiringi di sisi kanan. Memegang tangan Nura.
"Kamu akan sempurna menjadi wanita, kamu akan jadi seorang ibu. Semua akan berjalan lancar dan baik-baik saja" Andini mengucapkan kalimat penyemangat dan Afirmasi untuk Nura.
Nura tersenyum. Wajahnya bercahaya.
Hamdi berjalan di samping kiri bersama ibu. Ibu nampak khawatir. Hamdi nampak cemas dalam kesedihannya.
Kami berjalan hingga pintu.
"Siapa perwakilan keluarga yang mau masuk". Seorang perawat bertanya.
Ibu memandang Hamdi
"Kamu aja"
Hamdi mengangguk.
"Saya kakak iparnya, boleh masuk?" tiba-tiba Santi tiba di antara mereka yang mendampingi Nura. Nafasnya masih terengah-engah.
"Biasanya dokter hanya mengijinkan satu orang" perawat menjelaskan.
"Please, Mba, tolonglah, ini kondisinya beda, suaminya tengah berada di luar kota. Saya kakak dari suaminya" Santi memohon, menghiba.
Dua perawat saling pandang.
"Sebentar, saya sampaikan dulu ke dokter Nurita. Mohon tunggu"
Nura masuk dibawa perawat, didampingi Hamdi. Pintu belum ditutup.
Santi.tampak gelisah.
"Masih capek, Mba, minum dulu" Andini menyodorkan sebotol air mineral yang ia keluarkan dari tasnya.
"Terima kasih" Santi menerima.
"Keluarga pasien dari pihak suami, silahkan masuk" seorang perawat berkata.
"Alhamdulillah" Santi tampak bahagia. Ia tak menunggu lagi. Langsung masuk mengikuti langkah perawat.
Seorang bayi cantik telah lahir. Buah cinta Mukhlis dan Nura.
Dunia menyambutnya penuh suka.
Hamdi dan Santi merekam semua kejadiannya. Mengabadikan detik-detik kepala munggil itu keluar dari sayatan penuh darah.
Mengabadikan tangis yang disambut senyuman.
Hamdi meminta seorang perawat untuk merekamnya ketika adzan dikumandangkan di telinga kiri dan iqomah di telinga kanan.
Adzan yang dikumandangkan sang paman adalah kalimat indah pertama yang didengarnya. Lantunan tauhid yang merdu. Ajakan untuk bersujud sebagai langkah menuju kemenangan hidup.
Dokter menyelesaikan pekerjaan tahap akhir.
Menutup sayatan yang diperut Nura. Mengembalikan seperti semula meski meninggalkan bekas luka yang tak kan pernah hilang.
Nura menitikan air mata haru.
Santi mengusap-ngusap pundak Nura yang masih terbaring.
"Maafkan Mukhlis tidak bisa mendampingi saat ini" Santi menyampaikan haru.
"Gapapa Mba, aku tahu koq, aku tidak menyesali. Aku bahagia".
Bayi kecil itu telah berselimutkan kain bedong.
Wajahnya merah. Terlihat gambaran kecantikan di sinar wajah yang mungil itu.
Sebuah ikatan di alam rahim kini telah berganti alam. Kasih sayang yang selama ini hanya tersampaikan dalam do'a dan elusan di perut bunda, kini tersampaikan lewat pelukan, kecupan dan belaian.
Santi merekam detik-detik pertama sang bayi menikmati rizqi di dunia. Menikmati air susu ibu yang Allah alirkan penuh cinta.
Setelah bayi tampak kenyang, perawat mengambilnya kembali.
Nura harus beristirahat setelah perjuangan menghadiahkan kehidupan ia lakukan.
Nura dibawa ke kamar perawatan.
Andini dan ibu menyambut Nura dan berjalan mengiringanya seperti tadi.
"Selamat ya Nura" Andini memberikan senyuman terindah.
"Selamat ya Bu, sudah jadi nenek" Andini memandang ibu.
Ibu hanya tersenyum. Keharuan telah menyembunyikan kata-kata dari bibirnya.
Nura terbaring di kamarnya.
Andini dan ibu duduk di sisi.
"Bu" Nura berkata lirih.
"Sudahlah Nak, istirahat dulu" ibu mengisyaratkan agar Andini tak berkata-kata.
"Aku tak ingin ibu berburuk sangka pada Mukhlis" Nura tetap bicara.
"Iya ibu faham, ini kan diluar perkiraan, maju lebih cepat dari hitungan dokter" ibu mencoba bijaksana memahami.
"Mukhlis mungkin tidak akan pulang dalam waktu dekat, aku tak ingin ibu marah sama Mukhlis" Nura tak bisa ditahan untuk tidak berbicara.
"Tadinya Mukhlis minggu ini ga akan pulang, Dewi sudah mengijinkan. Tapi kemarin bunda Mukhlis nelpon, ngasih kabar Dewi, maduku, mendadak harus dioprasi, ada penyumbatan darah di kepala dan sekarang sedang masa kritis"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar