Labirin Cinta Andini
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad ).
Part 14.
Hamdi mengirim video dan foto-foto kelahiran bayi ke group rumah tahfidz.
Andini memperhatikan video itu dengan seksama. Matanya mengembun melihat semuanya.
Rasa haru dan bahagia menyelimuti hatinya.
Reflek tangannya memegang perut.
Adlan yang sedari tadi memperhatikan, ikut memegang perut Andini. Istrinya. Penuh kelembutan, diletakkannya tangan perkasa itu di atas tangan yang putih bersih nan halus. Kedua tangan menempel di perut. Namun sejatinya kedua tangan itu tengah meminta pada pencipta hidup & kehidupan, agar Allah amanahkan pada mereka sebuah kehidupan baru, seorang anak, buah cinta dalam cintaNya.
"Semoga Allah berikan kita keberkahaan". Adlan berbisik lembut di telinga Andini.
"Bayi merah ini sudah terlihat sangat cantik, meski mirip abinya, padahal yang cantik kan ibunya" itu caption yang ditulis Hamdi menyertai foto-foto yang ia kirim.
Hamid membalas pesan foto itu dengan mengirim fotonya.
"Dari Wiena yang tengah musim gugur, Om kirim do'a dan sun sayang untuk ponakan yang baru lahir, semoga jadi anak sholihah seperti ibunya, pejuang islam, penyejuk hati dan penolong kedua orang tuanya di dunia dan akhirat".
Pepohonan dan tanaman berwarna merah hati, sebagian berwarna oranye dan kecoklatan, tampak menjadi latar foto Hamid. Hamid berdiri di atas daun-daun yang berserakan. Jaket tebal menutup tubuh Hamid.
"Bukan om kali, tapi uwa"
Hamdi membalas
"Kan belum nikah". Hamid membalas, menyertakan emotikon tertawa terpingkal-pingkal.
"Ayo Uwa Hamid cepetan nikah, jangan terlalu berhati-hati mencari pelabuhan hati" Nura membalas.
Hamid tidak membalas.
Andini tergerak untuk ikut mengomentari dengan menyampaikan kalimat do'a untuk Hamid. Ia memilih foto teman-temannya waktu di karantina tahfidz.
Jempolnya yang lentik mulai mengetik.
Tinggal selangkah lagi.untuk mengirim pesan. Seperti biasa, Andini selalu membaca ulang.
"Ayo uwa, banyak bidadari jelita penghafal Quran yang siap dipinang. Semoga Allah segerakan".
Akhirnya ia menghapus semua kalimat yang sudah ia ketik.
"Tinggalkan sesuatu yang meragukan, pada hal yang tidak meragukan". Ia teringat quote, atsar yang keluar dari.salah seorang sahabat Rosululloih saw yang mulia.
Ya. Ada keraguan yang singgah di hati Andini. Biasanya Hamid tak akan membalas.
"Mas, kita pamit yuk, nampaknya Nura harus istirahat dan Mas besok mulai ngantor. Kita belum siap-siap" Andini mengajak Adlan.
Adlan menganngguk.
"Bu, sebentar saya keluar dulu, ada keluarga nelpon" Santi ijin pamit ke ibu Nura, mendahului Andini dan Adlan.
Ibu mengangguk, mempersilahkan.
"Nura, selamat yaa, kamu udah jadi ibu dari bayi yang cantiiiiik banget" Andini mengelus tangan Nura. Senyum mengembamg di dua wajah yang bercahaya.
"Makasih"
"Do'ain biar aku ketularan ya, biar aku bisa jadi ibu tanpa menunggu"
"Iya aku do'akan"
"Debaynya udah punya nama?"
"Iya, aku udah nyiapin sama Mukhlis sejak tahu kalau bayinya perempuan"
"Oh ya? Siapa?"
"Hanana Faradisa Mukhlis"
"Namanya cantik, secantik bayinya, ibunya kalah cantik nih"
Nura hanya tersenyum. Bahagia.
"Aku pamit dulu ya, Adlan besok mulai ngantor"
"Iya" hanya itu yang keluar dari bibir Nura.
Andini mendekati ibu. Mengambil dan mencium tangannya. Ibu yang sejak lama sudah ia anggap sebagai ibu sendiri.
"Andini pamit dulu Bu, do'akan Andini ya, semoga bisa cepet punya bayi juga" Andini memohon restu.
"Iya, ibu do'akan. Kamu kan anak ibu juga"
Adlan menyodorkan kedua tangan. Bersalaman tanpa bersentuhan. Hanya isyarat pamit tanda dan menjaga kesopanan.
"Mas, kita ke rumah ya, ngambil pakaian-pakaian dan perlengkapan kerja Mas"
"Iya" Adlan menjawab pendek.
"Tapi aku mau sholat duha dulu di masjid sini ya, kalau di rumah umi, takutnya ga sempat" Andini menggelayutkan tangannya di lengan Adlan manja.
Mereka berjalan menuju mushola.
Mushola yang cukup luas di lantai dua. Tempat sholat untuk pria dan wanita dipisah.
Andini melepaskan tangannya.
Kebahagiaan membuat dadanya lapang dan langkahnya terasa ringan.
Dengan ringan pula Andini menuju toilet yang berdampingan dengan tempat wudhu.
Andini melihat ada Santi di sana. Di depan wastafel. Santi tengah mengusap matanya dengan tisu.
Perlahan dan hati-hati, Andini mendekat.
"Mba..." Andini ragu menyapa.
"Mba baik-baik saja?" Andini bertanya setengah berbisik
Mata.Santi terlihat basah dan merah. Nampaknya air mata sudah tertumpah sedari tadi.
"Ada apa, Mba? ada yang bisa saya bantu?" Andini menatap Santi.
"Dewi, istri pertama Mukhlis, dua hari yang lalu dioprasi, ada penyumbatan pembuluh darah di otak" Santi tersengal berbicara.
"Oprasinya lancar, Tapi Dewi tidak berhasil melewati krisis" Air mata mata Santi tumpah kembali.
Reflek Andini memeluk tubuh Santi.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, kami turut berduka cita" Andini lirih berkata.
"Kapan meninggalnya?" Andini mencoba bertanya memastikan.
"Setengah jam yang lalu" Santi menjawab terisak.
Andini tak berani melepas pelukannya.
Hanya pelukan dalam ketulusan yang bisa ia berikan. Sebagai ungkapan bahwa Andini faham akan apa yang Santi rasakan.
Kebahagiaan dan kesedihan kadang hanya berbatas sehelai rambut. Kehidupan dan kematian kadang tak perduli pada waktu. Semua sempurna dalam keta'atan pada Yang Maha Menciptakan.
Sama seperti jarak antara langit dan bumi kadang hanya terlihat sebagai batas garis cakrawala.
Padahal jarak nyata jauhnya. Mereka yang pernah mengangkasa pun tak pernah melihat batas jelas antara langit dan bumi. Hitungan ketinggian yang mereka catat, itu saja yang mereka tahu. Semua rahasia ilahi.
Pun kapan batas antara kehidupan dan kematian, tidak ada yang tahu kapan akan tiba masanya. Semua rahasia ilahi.
Sebagai hamba, manusia hanya harus berjalan, ta'at dan ridho dalam semua tuntunan dan ketentuanNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar