Rabu, 05 Februari 2020

Labirin Cinta Andini part 15

Labirin Cinta Andini
(Oleh Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 15.

Hidup adalah perjalanan dari satu taqdir ke taqdir berikutnya.
Dari satu taqdir kita kumpulkan pundi-pundi pahala jika ikhlas dan sabar menjalaninya.
Pundi-pundi yang harus benar-benar kita jaga, agar semua pahala yang telah ditebus dengan peluh dan air mata, tak menguap, hilang karena riya.

Hidup adalah perjalanan yang sebentar saja. Tak lama.
Dalam sebentar itu, manusia berpetualang antara tangis dan tawa dalam kebebasan kehendaknya.
Manusia bebas memilih, apakah ia akan ta'at atau memilih maksiat.
Namun manusia tidak bebas memilih konsekuensi dari pilihannya.

Pada setiap taqdir yang menyapa, manusia bebas memilih, apakah ia akan ridho menerima atau marah dan menolaknya.
Tapi ia tidak bebas memilih balasan dari pilihannya.

Ya ada kalanya manusia sangat bebas memilih.
Bahkan ia dibebaskan apakah ia akan memilih hidup dalam keimanan atau hidup dalam kekafiran. Ia hanya tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban nya kelak.diakhirat.

Namun kebebasan memilih bukanlah karena kesempurnaan.
Sempurna hanyalah milik Sang Pencipta Kehidupan, Sang Pemilik taqdir.
Dalam kebebasannya manusia terpenjara dalam sunatullooh penciptaan.
Ia tak bebas memilih kapan ia ingin hidup dan kapan ia inginkan kematian. Semua mutlak atas kehendakNya.
Ia tak bebas memilih dengan siapa ia berjodoh seberapa dalampun cinta yang terlanjur, jika bukan jodoh, cinta hanya ujian, bukan jalan kenahagiaan.
Ia juga tak bebas memikih dari rahim dan benih mana, ia ingin dilahirkan dan di tempat mana ia ingin dibesarkan.
Namun Maha Bijasana Sang Maha Pencipta. Di sini, konsekuensi dan balasan, ditiadakan.

"Ada apa Andini?" Adlan bertanya, sambil mengusap mata Andini yang basah.
Andini menceritakan semuanya.
Adlan mendengarkan dengan seksama.
"Nura sudah tahu?" Adlan bertanya.
"Santi berpesan agar Andin tidak mengabari Nura, katanya biar Mukhlis sendiri yang nanti mengabari"
"Ya sudah, kita do'akan saja. Kita do'akan kebaikan untuk semuanya"
"Aku hanya kasihan sama Nura, sebab kemungkinan, empat puluh hari kedepan Mukhlis harus tetap di Jogja. Mertuanya di Jogja termasuk yang kolot dan memegang teguh tradisi tahlilan"
"Mertuanya tidak tahu kalau Mukhlis punya istri kedua?"
"Sepertinya tidak"
"Sudahlah, aku tahu Nura sahabatmu..."
"Nura seperti saudaraku Mas, keluarganya seperti keluargaku" Andini memotong
Adlan tersenyum bijak. Dipeluknya Andini.
"Sekarang ada aku yang lebih mencintaimu dari.siapapun, aku tak mau kamu bersedih atas masalah yang bukan masalahmu"
Andini membalas pelukan itu.
"Maafkan Andin".
"Ga ada yang salah"
"Mas ridho kan sama.Andin"
"Iya, Mas ga marah koq"
"Ayo kita ke rumah umi" Adlan mengajak

"Mas, jangan lupa beli oleh-oleh dulu buat umi dan Abi" Andini mengingatkan.
"Apa ya?"
"Martabak, umi dan abi suka banget waktu dulu Andin bawain"
"Ya udah, ayo" Adlan menggenggam tangan Andini.
Dua tangan yang serasi.
Dua tangan yang telah berjanji saling menuntun dalam ridhoNya.
Dua tangan berikrar untuk saling menyelamatkan hingga ke surgaNya.

***

Rumah yang asri nan teduh itu terlihat sepi.
Adlan mencoba membuka pintunya.
"Assalamualaikum" Adlan mengucapkan salam.
"Wa'alaikum salam" hanya bibi yang menjawab.
"Eeeh, Mas Adlan, kenapa ga ngasih tahu.dulu?"
"Gapapa Bi, Umi kemana?"
"Umi.lagi.sholat dzuhur"
"Abi?"
"Abi lag ke Tenjolaya, nengok.Mang Ading, biasa, ngontrol kambing-kambing sama sapi-sapinya".

"Assalamualaikum, ya Allah naaak, kenapa ga ngasih kabar kalau mau pulang" umi memyambut Andini dan Adlan dengan mukenanya.
"Gapapa Mi"
"Sudah makan belum?"
"Sudah mi".
"Ini Andini sama Mas Adlan tadi beli martabak untuk Umi sama Abi"
"Koq malah ngerepotin"
"Ngga Mi,
Umi menerima oleh-oleh yang diberikan.  Umi berjalan ke dapur. Andini dan Adlan duduk di ruang keluarga

"Kalian nanti nginep di.sini kan?" umi bertanya.
Ditangan umi ada sepiring martabak telor.
Bibi mengikuti. Membawa nampan berisi martabak manis dan beberapa gelas teh hangat.
"Tadinya cuma mau ambil baju-baju sama perlengkapan kerja aja mi" Adlan menjelaskan
"Nginep sini aja" umi menyarankan.
"Andin ga bawa baju ganti mi"
"Itu kemarin ada temen umi bawa jualan baju, umi beli tiga, sengaja buat Andin". Umi menjelaskan.

"Mba Andin?" tiba-tiba Dinda menyapa dalam tanya. Matanya yang setengah sembab, menunjukkan wajah yang baru saja terjaga dari tidurnya.
"Dinda apa kabar?" Andin menyalami & memeluk Dinda
"Alhamdulillah baik"
"Udah lama Mba?"
"Baru saja"

"Ini ada oleh-oleh dari Andin & Adlan" Umi menyodorkan piring berisi martabak telor.
"Makasih Mi, nanti aja, Dinda masih kenyang" Dinda menolak halus.

Semua nampak gembira.
Bercengkrama.
Keluarga adalah ikatan cinta.
Keluarga adalah harta tak ternilaikan.
Keluarga adalah surga sebelum surga jika di dalamnya terikat dengan syariat.

"Ayo, istirahat dulu" umi mengingatkan.
Andini & Adlan menganngguk.
Dinda memilih berjalan ke dapur.
Andini dan Adlan berjalan ke kamar

Jarum panjang yang tipis dan kurus seperti jarum dalam jam bergerak pasti. Ia seolah berlari. Ia bertugas menunjuk waktu dalam makna detik.
Jarum panjang yang lebih tebal pelan beranjak, menunjuk waktu di angka enam. Jarum pendek yang lamban, tengah bertenger diantara angka lima.dan enam.

Andini dan Adlan tengah menikmati snack sore. Dua wajah penuh kesegaran memancarkan kebahagiaan. Rambut Adlan nampak masih basah.
Andini duduk di sebelahnya sambil melihat-lihat majalah islami. Duduk dalam kehangatan cinta yang penuh kasih sayang.

"Assalamualaikum" kedatangan Zamzam baru disadari Andini dan Adlan ketika Zamzam menyapa mereka.
"Eh, Zamzam". Adlan bangkit menyambut adik.kesayangannya. Mereka berpelukan.
"Apa kabar? Gimana di kantor?"
"Alhamdulillah" hanya kata itu yang terucap dari.mulut Zamzam.
"Kak, apa.kabar?" Zamzam menyapa Andini sopan. Ia terlihat sangat menjaga jarak dan sikap. Hingga terlihat sangat kaku.
"Alhamdulillah baik". Andini menjawab.

"Mas udah pulang toh, tumben pulang cepat" Dinda menyambut.
"Alhamdulillah, hari ini jalan bener-bener lancar, ga macet sama sekali" Adlan menjawab.

"Pengantin baru bawa berkah kayaknya" umi tiba-tiba ikut bicara.
"Ngga boleh begitu Mi, semua keberkahan dan kemudahan datang karena kasih sayang Allah, kita hanya penerima, bukan pembawa" Andini mengingatkan.
Zamzam tersentuh.
Adlan tersenyum bangga dalam rasa syukur yang mendalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar