Labirin Cinta Andini
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad
Part 19
"Ada apa Nak?" Mukhlis bertanya sambil mengusap-ngusap punggungnya.
"Aku takut Allah marah"
"Marah kenapa?"
"Aku ngantuk, pengen tidur, tapi belum sholat maghrib dan harus nunggu isya, padahal aku maunya tidur"
Mukhlis tersenyum.
Diraihnya putra sulungnya itu ke pangkuannya.
"Jundi cape?"
"Ngga, aku ngantuk"
"Kalau gitu, Jundi sholat di rumah aja ya sama Bunda. Sholat isya nya langsung setelah maghrib"
"Emang boleh?"
"Boleh kalau lagi dalam perjalanan"
"Tapi kita kan udah sampai"
"Tapi Jundi belum muqim di sini"
"Muqim itu apa?" Jundi nampak antusias. Ia seolah lupa dengan kesedihannya.
"Muqim itu tinggal selamanya"
Jundi menangis lagi.
"Kenapa?" Mukhlis bertanya lagi.
"Aku ingin tinggal di sini selamanya, sama ayah, juga bunda"
"Iya, in syaa Allah kita tinggal di.sini selamanya, cuma kalau hari pertama belum dibilang muqim, jadi boleh di jama"
Jundi menatap wajah ayahnya.
"Betul kah?"
Mukhlis mengangguk, memastikan.
Jundi turun dari pangkuan ayahnya.
Langkah kecilnya terburu-buru mencari bunda, mencari Nura di kamar.
"Bunda, ayo sholat, abis sholat aku mau tidur"
Nura tersenyum.
"Jamaah ya, aku jadi imamnya" pinta Jundi.
"Iya, Bunda wudhu dulu ya"
"Aku juga"
Air wudhu selalu memberikan kesegaran dan kesejukan. Segar pada raga, sejuk pada hati. Dan bias bening basuhan airnya selalu menjejakkan cahaya di setiap wajah yang mengambilnya.
Dua sajadah dihamparkan.
Jundi di depan.
Nura di belakang.
Jundi melafadzkan niat sholat sebagai imam dengan lantang.
Nura membisikan niat sholat fardhiyah dalam hati.
Usai salam, Jundi melipat sajadahnya.
"Aku mau tidur ya Bunda"
Nura menganngguk.
"Ayo bunda temenenin, tapi ganti baju dulu ya"
Nura membuka koper Jundi.
Mencari baju tidur milik Jundi.
Semua baju tertata rapi dan wangi. Baju-baju kaos, semuanya bergambarkan animasi-animasi islami.
"Yang ini ya, Mushab bin Umair" Nura menyodorkan.
"Iya, aku suka, nanti aku mau jadi Mushab bin Umair" Jundi tetap ceria, sama sekali tidak memperlihatkan sikap seorang anak yang mengantuk yang biasanya di dominasi rewel.
Tubuh Jundi terbaring di sebelah Nura.
Ayat Kursyi, Al Ikhlas, Al Falaq & Annas lancar dibaca Jundi setelah berdoa. Jundi memejamkan matanya.
Nura mengusap-ngusap lembut punggung anak madunya.
Masih ada rasa sesal yang memerih di hati Nura.
Sesal dan perih yang sulit diterjemahkan.
Nura memejamkan mata.
Ada sesuatu yang membuat Nura seolah harus membuka mata.
Ternyata Jundi tengah menatapnya.
"Bunda koq ga nangis?"
Nura kebingungan dengan pertanyaan Jundi.
"Jundi koq ga tidur?" Nura balik bertanya.
"Aku pengen lihat mata Bunda dulu" Jundi menjawab polos.
"Kenapa?" Nura penasaran.
"Biasanya kalau ibu nemenin aku tidur, lama-lama suka nangis"
Serasa ada pecahan kaca yang menyayat hati Nura.
"Jundi tahu kenapa ibu nangis?"
"Kata ibu gapapa"
"Seseorang itu, kalau lagi bahagia, ada yang sukanya bilang kalau dia sedang bahagia. Ada yang cuma senyum, ada juga yang malah menangis. Mungkin dulu ibu menangis karena bahagia punya anak sholih bernama Jundi" Nura menghibur.
Jundi tersenyum. Perlahan matanya terpejam lagi.
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Perlahan Nura turun.
Waktunya bertemu Andini dan Adlan di rumah tahfidz.
Andini dan Adlan tampak tengah serius membicarakan sesuatu. Nura langsung bergabung.
Rupanya Mukhlis memberikan alternatif beberapa rumah tahfidz.
Andini dan Adlan memilih rumah tahfidz yatim.
"Nura, temenin aku bikin teh, yuk," Andini mengajak Nura.
"Biar nanti para santri aja yang buatin" Nura mengelak
"Aku ingin lemon tea spesial, buatan kamu, Nur ngidam nih" Andini beralasan.
Kedua sahabat itu pergi ke dapur.
Andini langsung mencari lemon. Memotong dan memerasnya.
Nura mengambil gelas, membuat teh dari air dispenser.
Andini mendekati Nura.
"Apa yang sebenarnya terjadi" Andini berusaha hati-hati bertanya.
"Ga ada apa-apa" Nura berkilah.
"Kamu ga bisa bohong dari aku Nura, aku hafal bahasa matamu"
Nura memeluk Andini.
Air matanya tumpah
"Aku ga tega lihat Jundi, dari wajahnya, dari ceritanya, aku bisa menangkap derita Dewi"
Andini membelai lembut kerudung Nura.
"Aku faham perasaanmu. Tapi kamu harus tahu bahwa itu bukan salahmu, bukan salah siapa-siapa"
Andini menghela nafas panjang.
"Pernikahan Dewi dengan Mukhlis adalah pilihan Dewi, pilihan orang tuanya dan semua sudah berakhir. Dewi sudah menunaikan tugasnya. Dewi sudah tenang di alam sana"
Hening sejenak.
"Kita do'akan saja".
Nura menganngguk.
Kebahagiaan seolah mempersingkat waktu. Sangat kontras dengan penderitaan.
Pada derita, jarum jam seolah enggan beranjak.Sekat duka di tenggorokan saat duka memggumpal seolah ditangkap oleh jarum jam. Hingga mencegahnya cepat beranjak.
Sementara pada bahagia, jarum jam pada seolah menari. Setiap senyum, setiap tawa, setiap binar mata mengerlip, seolah jadi enegi bagi jarum jam untuk berlari.
Usia kehamilan Andini menjejak di angka empat bulan. Waktunya untuk mengadakan do'a tasayakuran.
Umi meminta agar tasyakuran dilaksanakan di rumahnya. Rumah Adlan.
Sebenarnya Andini keberatan. Ia mengerti betul apa yang Dinda rasakan. Namun Andini tak menemukan pilihan.
Sore itu, ibu-ibu pengajian diundang. Al Quran dibacakan. Do'a & pinta padaNya agar keberkahan dicurahkan telah dilantunkan. Hari yang penuh kebahagiaan ditemani sajian hidangan yang telah disediakan.
Usai Do'a, Andini pamit kebelakang. Andini tak melihat Dinda saat nasehat usai do'a dipaparkan.
Andini mencari Dinda. Ke kamarnya.
"Dinda, aku boleh masuk?" Andini mengetuk pintu perlahan.
Pertama tak ada jawaban.
Ketukan kedua pun demikian.
Andini punya satu lagi kesempatan. Diketuk lagi pintunya.
"Dinda..."
Tak ada jawaban.
Akhirnya Andini berbalik arah.
Namun baru saja tiga langkah, terdengar suara memanggil.
"Mba Andin, ada apa?"
Andini menengok. Lalu melangkahkan kaki mendekati Dinda.
"Dinda baik-baik saja?"
Dinda hanya menjawab dengan senyum getir.
"Selamat ya Mba, punya bayi kembar, semoga keduanya menjadi anak sholih" Dinda mengucap tahniah.
"In syaa Allah Dinda juga akan segera punya keturunan"
"Aku sudah divonis dokter tidak bisa punya keturunan"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar