Kamis, 20 Februari 2020

Labirin Cinta Andini part 21

Labirin Cinta Andini
( Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 21

Andini dan Adlan saling berpandangan. Bumi seolah berhenti berputar dari porosnya.
Waktu seolah membeku.
Hening dan diam seolah merampas semua kata-kata.
Hingga akhirnya Adlan menarik nafas panjang & menghembuskan pelan.

"Umi?" Adlan bertanya hati-hati.
"Apa maksud umi?"
"Umi sudah merindukan tangis bayi sejak lama, umi merindukan keceriaan tawa anak-anak di rumah. Umi tahu kalian tidak mungkin tinggal bersama kami. Tapi Zamzam juga tidak mungkin jauh dari kami karena kondisi Dinda tidak bisa ditinggal sendiri" akhirnya keluar juga alasan dibalik permintaan yang terasa sangat memberatkan.

Andini menatap Adlan lamat-lamat.
Tidak tahu apa yang harus diperbuat.
Ia faham betul kondisi Dinda. Dinda perlu kasih sayang dan perhatian lebih. Dinda baru bangkit dari keterpurukan. Zamzam dan Umi adalah dua sosok penopang Dinda.

Andini juga mengerti betul kerinduan umi akan hadirnya seorang cucu.  Tapi memberikan bayi lucu yang baru saja ia miliki adalah sebuah keputusan besar yang amat sangat menyakitkan.

"Bagaimana kalau Dinda mengambil anak dari saudara, atau dari orang yang tidak punya, atau dari panti asuhan?" Andini hati-hati menyampaikan.

"Umi tidak mau membesarkan anak yang tidak jelas keturunannya. Tidak jelas akhlaq orang tuanya" Umi menjelaskan.

Adlan kembali menarik nafas panjang.
"Adlan mengerti perasaan umi. Adlan faham keinginan umi, boleh ngga kami minta waktu untuk berembuk dengan bapak dan mamah?"
Umi diam tidak menjawab

"Malam ini, umi menginap dulu di sini ya, Abi juga, Zamzam dan Dinda juga. Umi sama Dinda tidur dengan Andini di sini. Adlan, Zamzam dan abi tidur di kamar sebelah"
"Iya boleh"

Andini masih bingung dengan keadaan yang ada. Semua begitu tak terduga. Andini hanya bisa pasrah dalam do'a meminta yang terbaik. Memohon agar Allah menunjukkan jalan.

Malam telah gelap bak jelaga. Entah kelabu mana yang menyembunyikan sebentuk kelopak mata yang bercahaya di langit.
Ya. Bulan harusnya tengah memperlihatkan cantiknya dalam sebentuk kelopak mata. Pertanda penanggalan hijriah sebentar lagi akan berganti. Tapi malam ini indahnya bulan kelopak mata menghilang.

Dalam hening, Adlan bersimpuh. Bersujud memohon petunjuk.
Dua wanita yang sangat ia cintai kini menunggu keputusannya.
Ia tak ingin mengecewakan ibunya. Tapi iapun tak ingin membuat sedih istrinya.
Bukan saatnya untuk berandai-andai. Hanya membuang waktu dan membombardir rasa. Begitu Adlan menepis apa yang mengganggunya.

Delapan roka'at tahajud rasanya belum cukup. Sholat taubat, sholat hajat, sholat istikharah Adlan tunaikan juga.
Ditutup dengan witir lalu dzikir dan istighfar. Memohon ampun, itulah cara yang istimewa untuk meminta pertolonganNya.

Hingga adzan subuh terdengar berkumandang. Dua rokaat qobliah subuh ia tunaikan. Hingga sampai pada salam, dadanya masih terasa berat.

Adlan bangkit, melangkah ke masjid.
Masjid yang megah di tengah komplek. Jarak lima ratus meter ditempuh dengan melangkah. Langkah yang berat karena menopang dada yang tengah sesak.

Shaf depan telah terisi.
Tiga shaf telah penuh.
Namun Adlan tetap ingin di.shaf terdepan. Ia melangkah, memilih berada di depan meski harus yang paling pinggir.

Adlan terus beristighfar menunggu qomat dikumandangkan.

Usai salam, Adlan terpekur.
Tiba-tiba ada kehangatan menepuk pundaknya.
Bapak tersenyum menyapa.
"Assalamualaikum"
"Wa'alaikum salam"
"Tadi malam bapak bermimpi, melihat Utsman tersenyum di pangku bapak"

Adlan tertegun.
"Utsman?, bapak tidak melihat Umar?" Adlan bertanya hati-hati.
"Tidak, namanya juga mimpi, bukan kita yang mengatur & menginginkan"

Adlan menarik nafas.
"Pak, kalau misalnya rumah yang kami tempati sekarang digunakan oleh Mukhlis dan Istrinya, bagaimana? Sepertinya dengan Mukhlis dan istrinya layak mendapat rumah yang lebih luas dari paviliun yang sekarang"
"Nanti kamu dan Andini tinggal di mana?"
"Kalau kami kembali tinggal di rumah bapak, bersama Utsman, apa Bapak tidak keberatan?"
"Tentu tidak, dari dulu aku sudah memimpikan ingin dekat dengan cucu-cucuku" bapak terlihat senang.

Adlan menarik nafas.
"Umi juga demikian Pak, umi meminta agar ada bayi yang tinggal di rumah umi dan dirawat adik kami, Zamzam dan Dinda. Mereka divonis dokter tidak bisa punya keturunan"

Bapak diam. Lekat menatap Adlan. Tatapan yang semakin menambah berat beban yang sudah ada.
Bapak menarik nafas. Panjang dan dalam.
"Mohon maaf kalau semua sangat mendadak. Mohon maaf karena baru saja kami pindah tapi harus kembali, mohon maaf Pak" Adlan menghiba.

"Bapak tahu, ini pasti berat untuk kamu. Harus memilih antara ibu dan istri, harus memilih antara Utsman dan Umar" bapak berhenti sejenak.
"Barangkali, mimpi bapak semalam adalah jawabannya"

Spontan Adlan memeluk bapak.
Matanya mengembun.
"Terimakasih Pak" hanya itu yang mampu diucapkan.

Peukan yang melapangkan.
Pelukan yang menghisap habis semua beban.

Adlan melangkah pulang. Ringan.
Semua beban yang dikembalikan pada Allah, ternyata begitu mudah menghilang.

Andini tengah mengganti popok Utsman. Dinda membantu mengganti popok Umar. Ibu masih di atas sajadah.
"De, mas mau bicara" Adlan menepuk lembut pundak istrinya.

Adlan menceritakan semua percakapan dengan bapak.
Andini mendengar diiringi airmata.
Tak ada pilihan selain ta'at, meski terasa teramat sangat berat.
"Aku hanya minta dua syarat" dalam isak, Andini mencoba berucap.
"Umar hanya boleh minun asi dari asiku. Jika Utsman atau Umar membeli sesuatu, keduanya harus dibelikan yang sama"
Adlan memeluk Andini.

******

Perpisahan selalu menyisakan air mata.
Tidak ada perpisahan yang indah,
Karena kalau indah tentu tidak akan berpisah.

Tapi inilah dunia dengan segala kefanaanya.
Tubuh dan ruh ini hanya titipan
Dunia hanya kesempatan untuk menyemai amal dan kelak di akhirat kita akan menuai pahalanya.

Bahagia adalah pilihan, karena dalam setiap kesulitan ada kemudahan.
Dalam setiap kepedihan ada kebahagiaan.
Dan hanya mereka.yang ridho,
Hanya mereka yang tenang yang akan menemukannya.

Kita hanya harus mempertanggungjawabkan apa yang jadi pilihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar