Labirin Cinta Andini
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )
Part 22
"Jadi nanti aku sama bunda tinggal di sini?" Jundi bertanya dengan mata yang berbinar.
"Iya" Nura menganngguk dengan senyuman.
Jundi berlari-lari kecil melihat-lihat rumah barunya.
Ia melihat kamarnya.
Tempat tidur berbentuk mobil.
Lemari pakaian berlukiskan kaligrafi. Meja belajar. Laci berisi mainan. Semua tengah dipasang oleh para tukang.
Semua disiapkan Nura untuk Jundi.
"Kenapa bunda menghabiskan uang tabungan bunda untuk Jundi?" Mukhlis bertanya.
"Ngga abis koq" Nura mengelak.
"Tapi apa itu tidak memanjakan & berlebihan?" Mukhlis masih bertanya.
"Setahu bunda, yang dimaksud memanjakan adalah membiarkan anak melanggar peraturan. Kalau menyediakan fasilitas untuk kebahagiaan anak, itu adalah kewajiban, selama ada, selama kita punya, itu adalah rizqi anak. Semua dari Allah. Hanya dititipkan pada kita"
"Makasih bunda" Mukhlis memeluk Nura.
"Tidak perlu berterima kasih, kebahagiaan Jundi, kebahagiaan ayah, itu adalah kebahagiaanku" Nura membalas pelukan dengan hangat.
Mereka tak sadar. Dua mata tengah memperhatikan mereka dari jauh. Mata Jundi yang menatap terpana, penuh tanda tanya.
"Bunda, adik Hanana nangis" suara kecil itu mengagetkan Nura dan Mukhlis.
"Oh ya?" Nura bertanya
"Iya" Jundi menegaskan.
Nura berjalan ke kamar utama, kamarnya.
Benar saja, Hanana menangis. Nampaknya belum lama.
Nura memeriksa semuanya. Melihat popok. Memastikan semuanya baik-baik saja.
"Ayah, kenapa ayah memeluk bunda?" Jundi bertanya polos.
Mukhlis terkejut.
"Karena bunda sayang sama Jundi, semua perlengkapan kamar Jundi, bunda yang belikan"
"Tapi ibu juga sayang Jundi, ibu juga belikan semua yang Jundi mau"
"Iya, ayah tahu"
"Kenapa ayah dulu tidak pernah memeluk ibu?"
"Mungkin Jundi belum pernah melihatnya, kan rumah kita di Jogja luas" Mukhlis mencoba menjelaskan.
"Kalau Jundi sayang ibu, jangan lupa terus do'akan ibu ya" Mukhlis berpesan.
Jundi menganngguk.
***
"Umar hanya tinggal bersama neneknya. Utsman juga tinggal bersama neneknya, aku hanya tidak bisa tinggal di rumah mertuaku. Aku masih bisa melihat Umar. Umar masih memanggilku Umma, sama seperti Utsman. Aku bisa melihat dan menggendong Umar, hanya tidak tiap hari saja"
Begitu Andini selalu meng-afirmasi dirinya ketika kerinduan itu datang.
Kehilangan adalah suatu keniscayaan. Semua yang ada adalah titipan.
Cepat atau lambat, kita akan merasakan kehilangan.
Rasa kehilangan memang menyakitkan. Karena rasa kehilangan mencabut rasa memiliki dengan paksa.
Semakin dalam rasa memiliki,
Semakin sakit rasanya kehilangan.
Pun dengan kecewa.
Kecewa, setiap saat bisa menyapa manusia.
Kecewa ada ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan.
Semakin besar keinginan kita, semakin berat kecewa akan membebani rasa di dada.
Maka membebaskan diri dari rasa memiliki, adalah cara untuk terhindar dari sakitnya rasa kehikangan.
Melepaskan diri dari keinginan adalah cara untuk terbebas dari luka kecewa.
Setiap hari Andini memompa asi di pagi hari.
Adlan mengantarnya ke rumah uminya pagi hari.
Sepekan sekali Andini main ke rumah umi. Melepas rindu pada buah hati.
Andini membiasakan Utsman dan Ummar memanggil mereka dengan sebutan umma dan Abah. Utsman dan Umar juga dibiasakan untuk memanggil mereka dengan sebutan mamah dan papah.
Sabtu pagi itu Andini dan Adlan telah hadir di rumah Umi. Kerinduan telah disimpannya seminggu ini. Andini mulai terbiasa.
Ia melihat Umar sangat terawat. Sehat sama seperti Utsman.
Ini cukup menghibur Andini.
Umi menyambut Andini dan Adlan serta Utsman dengan pelukan.
"Sini cucu nenek, Utsman. Nenek kangen pengen gendong" umi mengambil Utsman dari pelukan Andini.
Bayi Utsman menatap wajah neneknya. Mengangkat tangannya seolah ingin meraba wajah neneknya yang mulai keriput.
"Dinda di mana?" Andini bertanya.
"Dinda lagi ke warung, Umar lagi sama papahnya, Zamzam" umi menjelaskan.
Andini diam. Ia tak berani bertindak.
Adlan segera melangkah ke kamar adiknya.
Dilihatnya Zamzam tengah memangku Utsman dengan penuh kasih sayang. Utsman tengah minum asi dari botol dalam pelukan Zamzam.
Ada rasa haru yang menyeruak.
Rasa haru yang menjalar hingga ke mata. Rasa haru yang kemudian mengembun, menggenang di pelupuk.
Masih terngiang ketika umi membisikkan di telinganya pelan. "Adikmu Zamzam tidak bisa punya keturunan".
Bisik lembut itu terdengar seperti halilintar di tengah siang yang sedang terik.
"Apa maksud umi?" begitu dulu Adlan bertanya.
"Zamzam waktu kecil sering kena virus gondongan. Dokter berpesan agar ibu menjaganya hati-hati, karena bagi laki-laki itu akan berpengaruh pada kesuburan. Kamu ingat waktu Zamzam jatuh dari sepeda? Itu juga berefek pada alat vitalnya" begitu dulu umi menjelaskan dengan sangat pelan dan perlahan, seolah tengah mengeluarkan beban berat dengan sngat berhati-hati.
"Tidak hanya itu, kamu ingat waktu adikmu pernah oprasi hernia?" umi bertanya. Adlan hanya bisa mengangguk.
"Dari situlah umi tahu kalau adikmu Zamzam tidak bisa punya keturunan" umi menjelaskan dalam nafas yang panjang. Nafas tanda kepasrahan.
"Itulah kenapa pula umi ijinkan Zamzam menikah dengan Dinda" rupanya umi masih menyimpan rahasia.
"Ketika Zamzam bercerita tentang Dinda, umi segera mencari tahu tentang Dinda. Umi mencari tahu tentang semua riwayat Dinda pada orang tua asuhnya. Orang tua asuhnya dari awal sudah menjelaskan semuanya bahwa Dinda tidak mungkin punya keturunan karena penyakit yang ada di rahimnya juga bentuk rahimnya yang abnormal. Justru karena itulah umi meminta mereka agar segera menikah. Dalam kondisi yang sama-sama tidak mungkin punya keturunan, umi berharap mereka bisa saling menerima dan tidak ada satupun yang tersakiti" Adlan merasa beruntung punya umi yang bijak.
"Dulu Zamzam sebenarnya pernah bilang sama umi kalau ia mencintai wanita lain, tapi umi larang karena takut nanti mendzalimi wanita itu" umi masih menambahkan cerita.
"Siapa wanita itu, mi? Adlan penasaran.
"Kamu tak perlu tahu, wanita itu sekarang sudah bahagia" hanya itu yang umi katakan dan Adlan hanya bisa diam.
"Sudah lama, mas?" sapaan Zamzam menyadarkan Adlan.
"Baru saja". Adlan melangkah. Mendekati kedua lelaki yang teramat ia sayangi.
"Minumnya banyak ya" Adlan bertanya sekedar basa basi, menghilangkan kebisuan.
"Begitulah jagoan" Zamzam menjawab dengan senyum.
Adlan menepuk pundak Zamzam.
"Terima kasih sudah mau mengasuh Umar"
Zamzam tersenyum bahagia.
"Jagoan kecil ini cukup merepotkan" begitu Zamzam menjawab.
Dan kedua kakak beradik itu tertawa bahagia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar