Rabu, 18 Maret 2020

Cinta Seindah Sakura part 1

Sakura Bumi Eropa
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 1

Malam telah jelaga.
Sekawanan awan menyembunyikan purnama.
Gemintang hadir. Tapi tak banyak.
Nyanyian serangga malam bak orkestra penghantar tidur.

Utsman tengah terlelap di pelukan Hamid.
Sepertinya mimpi indah tengah melukis tidurnya.
Perlahan Hamid turun dari kendaraan yang dibawa Hamdi.
Teramat sangat perlahan.
Seolah khawatir ada gerakan atau getaran yang mengganggu tubuh yatim yang tengah nyaman di peluknya.

Bapak Andini menyambut Hamid & Utsman.  Ia memberikan isyarat agar Utsman dipindahkan ke pangkuannya.
Perlahan tangan perkasa Hamid menyerahkan tubuh yatim munggil itu.
Tapi tangan kecilnya memegang erat tangan Hamid.

Akhirnya bapak Andini meminta Hamid untuk masuk. Utsman masih pulas meski tangannya memegang Hamid.
Bapak Andini memandu Hamid ke kamarnya.
"Utsman lebih sering tidur sama bapak" seolah bapak ingin menjelaskan kedekatannya dengan sang cucu.
Hamid hanya mengangguk.

Perlahan, Hamid merebahkan tubuh kecil itu. Namun tak disangka, Utsman membuka matanya.
"Abah..." ia memanggil almarhum ayahnya.
Hamid berdiri mematung. Tak mengerti apa yang terjadi.
Kakinya ingin melangkah keluar. Tapi hatinya iba pada sang yatim.

Sang kakek segera memeluk dan memangku cucunya.
"Abah..." Utsman mulai menangis.
Hati Hamid tergerak untuk memeluk Utsman. Tapi ia tahu, ia harus pulang.

"Saya permisi pamit dulu pak" Hamid mohon ijin.
Bapak menganngguk.

"Abah ... Abah" tangis Utsman meninggi. Sang kakek memeluk dan mengayun-ngayun tubuh mungil itu.
"Abah ... Abah ..." tangis itu kian meninggi. Air mata mulai mengalir di pipinya. Tubuhnya berontak.

Andini bergegas menuju kamar ayahnya.
Ia berpapasan dengan Hamid yang hendak pulang.
"Terimakasih" Andini membungkukkan sedikit tubuhnya.
"Sama-sama" Hamid menjawab pendek.

Tangis itu memecah bisunya malam.
Ada resah di hati Hamid mendengar pilu tangis itu.
Rasanya ia ingin berbalik. Memeluk tubuh mungil yang tadi nyaman tidur di peluknya. Tapi berarti ia harus melanggar garis batas etika. Tidak bisa
Akhirnya Hamid meneruskan langkah dalam bisikan do'a
"Yaa Allah, ijinkan aku jadi ayah untuk yatim yang malang itu, Utsman"
Tangisan itu masih terdengar hingga ia membuka pintu mobil.
Tangisan itu seperti sebilah pisau yang mengerat-ngerat hatinya. Pilu.

Tangisan pilu tak berhenti. Sepanjang malam Utsman berontak. Peluk hangat umma, peluk hangat kakeknya tak mampu mengobati sakit rindu di hatinya. Hingga tubuh mungil itu akhirnya menyerah. Kalah dalam lelah ketika jarum pendek di jam dinding menunjuk angka dua.
Tubuh itu lunglai di pelukan umma. Pelukan hangat ibunya.

Andini menidurkan Utsman perlahan. Ingin rasanya ia turut merebahkan tubuhnya.
Namun panggilan hati untuk mendekat pada Robbnya lebih kuat menariknya.
Saat seperti ini adalah saat paling syahdu untuk mengadu.
Menyampaikan segala macam harap dalam tengadah tangan.
Berharap langit menyerap semua do'anya.

*

Andini menatap wajah anaknya yang masih terlelap.
Dipegangnya kening dan leher Utsman lembut.
Suhu tinggi terasa panas di telapaknya. Utsman demam.
Andini sigap mencari termometer. Angka dilayar penunjuk suhu tubuh itu menulis tiga puluh sembilan.

Andini mencari obat penurun suhu panas di lemari obat. Habis.

"Nura, anti punya obat penurun panas kah?" pesan singkat ia sampaikan pada Nura.
Namun tak langsung dibalas.

Jam delapan pagi. Biasanya Nura tengah bersiap menuju rumah tahfidz akhwat.

"Bi, titip Utsman dulu ya, Andin mau beli obat turun panas" Andini akhirnya memutuskan pergi ke apotik.
"Biar mama saja yang jaga" tiba-tiba mama berkata.
"Iya ma" Andin pamit sambil mencium takdzim tangan mama.

Apotik dua puluh empat jam. Itu tujuan Andin.
Jam berangkat kerja selalu menyajikan cerita tentang kemacetan. Termasuk pagi itu.
Untung kemacetan itu tidak di dalam apotik. Apotik sepi. Andin bisa mendapatkan obat dengan cepat.

Ada gelisah di hati Andin. Gelisah yang coba diredam dengan dzikir, menyebut nama Allah.

Segala jalan menuju Allah selalu indah.
Setiap hati menyebut nama Allah selalu tentram.

Andin menemui Utsman. Kepala dan tubuhnya penuh dengan baluran bawang dan  asem jawa.
Andini kaget melihat pemandangan itu.
"Ada apa Ma?, ada apa Bi? Utsman kenapa?"
"Utsman tadi kejang" mama menjelaskan.
"Ya Allah" Andini tampak lemas. Tapi ia tahu, ia harus kuat. Utsman memerlukan ketegaran ibunya lebih dari biasanya.

Andini menyiapkan obat. Ia memeluk Utsman dan meminumkannya.

"Kita ke rumah sakit aja" Andini bergegas. Mama dan bi Inay mengikuti. Utsman tampak lemas. Matanya terpejam. Sesekali membuka.

Andini mencoba mencari celah untuk bisa sampai dengan cepat ke rumah sakit. Beberapa kali klakson panjang dari kendaraan lain menegurnya. Andini tak perduli.

Utsman langsung di bawa ke UGD.  Beberapa perawat sigap membantu.
Utsman harus menjalani rawat inap dan menjalani serangkaian tes untuk mencari penyebab panasnya.

Andini teringat Umar.
"Dinda, apa kabar, semoga sehat dan selalu dalam kebaikan. Aamiin. Gimana kabar Umar?" pesan yang cukup  panjang Andini sampaikan.
"Alhamdulillah kami baik. Cuma Umar demam dari tadi malam"
"Sudah di kasih obat?
"Sudah, tadi malam"
"Alhamdulillah"
Dinda mengirim foto umar yang lagi terlelap.
Andini lega.

Andini balas mengirim foto Utsman yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit. Infus di tangan kiri Utsman jadi fokusnya.
"Mohon do'anya ya, Utsman harus di rawat, tadi kejang"
Foto itu ia foward ke group yayasan rumah tahfidz.

Waktu menunjukkan pukul lima sore. Waktunya pasien boleh dijenguk.
Umi dan Zamzam.datang.
Andini terlihat lelah.
"Nanti malam, biar umi yang jaga" umi menawarkan.
"Makasih Mi, tapi Utsman baru nyaman kalau tidur dipelukan kakeknya. Biar bapak aja yang jaga"

Nura, Mukhlis, Hamdi dan Hamid datang.
Ruangan terasa hangat. Sejenak hati Andini terasa ringan.
Kehadiran keluarga dan sahabat, selalu menjadi obat.

Utsman tengah lelap tidur. Hamdi dan Hamid menatapnya.
Entah apa yang membuat Utsman membuka matanya. Ia menangis.
Andini sigap mendekat.
"Abah..." kalimat itu keluar dari mulut Utsman. Kalimat yang masih mengiris hati Andini.

Andini bersiap menggendong Utsman. Sigap. Namun Hamid terlebih dahulu reflek mengulurkan tangannya. Utsman dipelukan Hamid.
Utsman terlihat tenang dalam lemah tubuhnya. Andini hanya bisa menatap.

Waktu untuk berkunjung telah habis. Namun Utsman belum mau lepas dari pelukan Hamid.
"Kalian pulang duluan aja, kasihan Hanana sama Jundi" Hamid mempersilahkan.

Bapak berpapasan di pintu.dengan Mukhlis dan rombongan.
Umi belum mau pulang. Ia masih ingin bersama cucunya.
Beberapa kali umi mencoba mendekati Utsman untuk menggendong. Tapi Utsman menolak dengan tangisnya. Ia lebih nyaman berada di pelukan Hamid.
Hingga akhirnya Umi dan Zamazam menyerah. Pulang.

Tinggal bapak, Andini dan Hamid dalam ruangan.

Utsman tengah lelap di tempat tidurnya.
"Malam ini biar bapak yang jaga, Andin pulang aja" bapak meminta.
Andini menganngguk.

Ia bersiap pulang. Mengumpulkan baju kotor milik Utsman untuk dibawa pulang.
Andini hendak salam pada bapak ketika Hamid berkata.
"Andini, bisa minta waktu sebentar?" Andini menganngguk. Duduk di sebelah bapak.
Bapak menatap Hamid, seolah mengerti apa yang akan terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar