Sakura Bumi Eropa
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )
Part 2.
"Selama Utsman dirawat, bolehkah kakak ikut menjaganya ketika malam? Biar bapak ada teman" Hamid menyampaikan.
"Iya Kak, kalau tidak merepotkan. Terima kasih sudah mau menyayanginya dan menjaga Utsman" Andini menjawab.
"In syaa Allah ga repot, Utsman anak baik, dia cepat akrab" Hamid menambahkan.
"Biasanya Utsman susah dekat dengan orang yang baru dikenal. Tapi dengan Hamid, alhamdulillah bisa langsung dekat" bapak menambahkan.
Andini diam.
Hamid juga.
"Andin pamit dulu" Andin beranjak.
Bapak mengantar hingga ke pintu.
Hamid memandangi punggung Andini. Dari dulu perasaannya tak pernah berubah.
Namun, apakah perasaan Andini bisa berubah?
Ada ragu yang menyergap hatinya.
Saat anak sakit, ibu akan merasa sakit berlipat kuadrat. Karena darah yang mengalir di tubuh anak adalah darahnya. Jantung yang berdetak adalah miliknya. Namun justru di saat seperti itu, seorang ibu harus melipatgandakan kekuatan dan ketegarannya.
Apalagi Andini, ia harus berjuang hanya dengan sebelah jiwa.
"Ada Allah" begitu hati Andini berbisik.
"Allah yang akan menguatkanku. Allah yang akan menolongku, entah seperti apa pertolongan itu, entah lewat siapa. Pertolongan Allah pasti ada. Biarlah Allah yang mengatur semuanya, tugasku sebagai seorang hamba hanyalah pasrah sambil terus melangkah" bening bulir di mata mulai hangat menggenang.
Andini menyerahkan pakaian kotor pada Bi Inay.
"Gimana kabar Utsman, Neng?"
"Tadi lagi tidur Bi"
"Mudah-mudahan cepet sembuh ya Neng"
"Aamiin"
"Makan dulu Neng, bibi bikin soto"
Andini duduk di meja makan.
Semangkuk soto ayam, hangat membasuh tenggorokan hingga lambungnya. Meski tak sampai ke hatinya.
Lelah selalu mengajak tubuh untuk tetirah.
Andini membuka lemari. Mencari handuk dan beberapa pakaian Utsman untuk dibawa besok. Andini menyiapkan tas. Tidak hanya pakaian. Beberapa mainan Utsman juga ia masukan ke dalam tas.
Andini melihat sarung Adlan. Hatinya masih berdesir perih.
Utsman akan tidur lelap kalau berselimutkan sarung ini. Selama setahun ini, sarung ini tak pernah absen jadi selimut Utsman saat tidur malam.
Andini bergegas memasukan sarung pada tas yang sudah disiapkan.
"Bi, tolong siapkan soto dan makanan untuk dua orang, Andin mau ke rumah sakit lagi"
"Untuk dua orang, Neng? Neng Andin mau nginep di rumah sakit? Ga istirahat aja?"
"Bukan untuk Andin, tapi untuk bapak sama Hamid"
"Oooh" hanya itu yang keluar dari Mulut bi Inay.
Lelah membuat Andini tak memaksakan diri untuk melaju cepat. Ia menikmati titik-titik kemacetan. Meski hatinya resah memikirkan Utsman.
Jam delapan malam. Harusnya Andini sudah rebah di pelukan malam. Namun keadaan meminta lain.
Andini membuka pintu ruangan rawat inap VIP untuk anak pelan. Khawatir Utsman terganggu.
Bapak tengah membaca koran. Sendiri duduk di sofa.
"Ada apa nak, koq balik ke sini, ngga istirahat?" bapak cukup kaget menyadari kedatangan Andin.
Andin duduk di sebelah bapak.
Ia membuka tasnya.
"Ini pak, selimut Utsman, takutnya Utsman rewel dan ga bisa tidur"
"Sepertinya tidak perlu" mata bapak melirik ke arah tempat tidur Utsman.
Andin tertegun.
Utsman tengah tidur dalam pelukan Hamid di ranjangnya.
"Ini Andin juga bawakan soto sama kue-kue untuk Bapak & Hamid, siapa tahu malam-malam laper" Andin menyodorkan tas yang berisi makanan. Tas kedap yang membuat makanan tetap hangat.
Bapak menganggukan kepala.
"Ini ada mainan Utsman juga"
"Kamu mau nginep.di sini?" bapak bertanya
"Ngga Pak" Andin mengelak.
"Kalau gitu, istirahatlah, semalam kamu kurang tidur"
"Iya Pak"
"Ayo bapak anter" bapak berdiri.
"Utsman?" Andin ragu.
"In syaa Allah gapapa, dari tadi tenang sama Hamid"
Andini tak punya pilihan.
Dingin. Malam selalu menawarkan dingin. Apalagi di bulan Januari, dimana hujan tak lelah mengguyur bumi. Dingin itu terasa semakin menggema dalam hampa. Itulah yang dirasakan Andin. Hanya lantunan dzikir yang mampu menghangatkan. Mengusir hampa dan dingin yang terus berusaha mencuri bahagia.
"Andin, kamu tak berfikir untuk menikah lagi?" bapak hati-hati memulai pembicaraan.
"Yang Andin pikirkan sekarang hanya Utsman, Pak, Andin ga mikir apa-apa lagi"
"Kamu tak berfikir untuk mencarikan ayah untuk Utsman?"
"Siapa Pak yang mau menerima Andin dan Utsman"
"Hamid?, bagaimana menurutmu?"
"Hamid pulang karena mau ta'aruf Pak" Andin menjelaskan.
Bapak diam sejenak.
"Tapi semuanya belum pasti kan?"
Giliran Andin yang diam.
"Bagaimana kalau bapak bicara dengan Hamid"
"Tidak boleh menawar barang yang sedang ditawar orang lain Pak" Andini mengingatkan.
"Andin juga ga enak, dulu Andin pernah menolak Hamid" lanjut Andin.
Bapak hanya diam.
Hingga Andin turun.
"Bapak ngga ikut turun?" Andin menegaskan.
Bapak menjawab dengan gelengan kepala.
Barangkali sudah menjadi taqdir pintu rumah sakit untuk diperlakukan dengan sangat hati-hati.
Setiap tangan yang membukanya seolah memperlakukannya sebagai barang rapuh yang harus dipegang lembut.
Pak Teja, bapak Andini membuka pintu pelan.
Dilihatnya Utsman tengah memegang mainan. Duduk di sofa.
Ia menarik nafas panjang. Seolah ada beban berat yang menghimpit dadanya. Beban yang ingin segera ia lepaskan.
Perlahan bapak Andini berjalan ke arah sofa.
Bukan hanya tengah bermain. Utsman tengah makan disuapi Hamid. Ada haru yang menyeruak di hati kakeknya Utsman. "Andai pria baik ini bisa menjadi ayah untuk Utsman" begitu batinnya.
"Maaf tadi bapak ga kasih kabar kalau mengantar Andin" kalimat itu yang pertama kali di sampaikan.
"Tidak apa-apa, Pak, Utsman dari tadi tenang" Hamid menjawab sopan.
Sang kakek mencoba mendekat pada cucunya, mengulurkan tangan untuk menggendongnya. Tapi sang cucu menggeleng, merapatkan badan pada Hamid.
Ada desiran pedih di hati sang kakek.
Hamid menghapus sisa makanan di bibir Utsman. Ia menyodorkan sesuap makanan lagi. Utsman menggeleng.
Hamid bangkit sambil menggendong Ustman di peluknya. Diusap-usapnya punggung kecil itu dengan kelembutan dalam ayunan.
Ia teringat ibunya yang selalu memperlakukan demikian. Hingga matanya terpejam. Damai dipeluk malam.
Hamid perlahan menidurkan Utsman di ranjang rumah sakit.
Perut yang kenyang, hati yang tenang membuat Utsman nyaman dalam impian.
Hamid mendekati bapak yang tengah membuka Al Quran.
"Alhamdulillah Utsman sudah tenang, tadi dokter visit, katanya kalau Utsman sudah tidak panas lagi, lusa bisa pulang" Hamid membuka pembicaraan.
"Alhamdulillah, semoga tidak ada apa-apa"
"Sepertinya tidak ada apa-apa, ini hasil cek labnya" Hamid menyodorkan amplop.
Bapak membuka & membaca
"Pak" Hamid terlihat serius memandang wajah bapak Andini dengan seksama.
Bapak Andini membalas pandangan lelaki yang sejak lama sudah dianggap sebagai anaknya sendiri.
"Mungkin ini waktu yang kurang tepat" Hamid ragu. Tenggorokannya tiba-tiba tercekat. Jantungnya berdebar keras. Ia berusaha mengumpulkan semua keberanian. Mengusir jauh-jauh semua keraguan.
"Mohon maaf kalau Hamid tidak.sopan, menyampaikan dalam kondisi seperti ini, kalau bapak berkenan, Hamid ingin menjadi ayah untuk Utsman dan menjadi suami untuk Andini"
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )
Part 2.
"Selama Utsman dirawat, bolehkah kakak ikut menjaganya ketika malam? Biar bapak ada teman" Hamid menyampaikan.
"Iya Kak, kalau tidak merepotkan. Terima kasih sudah mau menyayanginya dan menjaga Utsman" Andini menjawab.
"In syaa Allah ga repot, Utsman anak baik, dia cepat akrab" Hamid menambahkan.
"Biasanya Utsman susah dekat dengan orang yang baru dikenal. Tapi dengan Hamid, alhamdulillah bisa langsung dekat" bapak menambahkan.
Andini diam.
Hamid juga.
"Andin pamit dulu" Andin beranjak.
Bapak mengantar hingga ke pintu.
Hamid memandangi punggung Andini. Dari dulu perasaannya tak pernah berubah.
Namun, apakah perasaan Andini bisa berubah?
Ada ragu yang menyergap hatinya.
Saat anak sakit, ibu akan merasa sakit berlipat kuadrat. Karena darah yang mengalir di tubuh anak adalah darahnya. Jantung yang berdetak adalah miliknya. Namun justru di saat seperti itu, seorang ibu harus melipatgandakan kekuatan dan ketegarannya.
Apalagi Andini, ia harus berjuang hanya dengan sebelah jiwa.
"Ada Allah" begitu hati Andini berbisik.
"Allah yang akan menguatkanku. Allah yang akan menolongku, entah seperti apa pertolongan itu, entah lewat siapa. Pertolongan Allah pasti ada. Biarlah Allah yang mengatur semuanya, tugasku sebagai seorang hamba hanyalah pasrah sambil terus melangkah" bening bulir di mata mulai hangat menggenang.
Andini menyerahkan pakaian kotor pada Bi Inay.
"Gimana kabar Utsman, Neng?"
"Tadi lagi tidur Bi"
"Mudah-mudahan cepet sembuh ya Neng"
"Aamiin"
"Makan dulu Neng, bibi bikin soto"
Andini duduk di meja makan.
Semangkuk soto ayam, hangat membasuh tenggorokan hingga lambungnya. Meski tak sampai ke hatinya.
Lelah selalu mengajak tubuh untuk tetirah.
Andini membuka lemari. Mencari handuk dan beberapa pakaian Utsman untuk dibawa besok. Andini menyiapkan tas. Tidak hanya pakaian. Beberapa mainan Utsman juga ia masukan ke dalam tas.
Andini melihat sarung Adlan. Hatinya masih berdesir perih.
Utsman akan tidur lelap kalau berselimutkan sarung ini. Selama setahun ini, sarung ini tak pernah absen jadi selimut Utsman saat tidur malam.
Andini bergegas memasukan sarung pada tas yang sudah disiapkan.
"Bi, tolong siapkan soto dan makanan untuk dua orang, Andin mau ke rumah sakit lagi"
"Untuk dua orang, Neng? Neng Andin mau nginep di rumah sakit? Ga istirahat aja?"
"Bukan untuk Andin, tapi untuk bapak sama Hamid"
"Oooh" hanya itu yang keluar dari Mulut bi Inay.
Lelah membuat Andini tak memaksakan diri untuk melaju cepat. Ia menikmati titik-titik kemacetan. Meski hatinya resah memikirkan Utsman.
Jam delapan malam. Harusnya Andini sudah rebah di pelukan malam. Namun keadaan meminta lain.
Andini membuka pintu ruangan rawat inap VIP untuk anak pelan. Khawatir Utsman terganggu.
Bapak tengah membaca koran. Sendiri duduk di sofa.
"Ada apa nak, koq balik ke sini, ngga istirahat?" bapak cukup kaget menyadari kedatangan Andin.
Andin duduk di sebelah bapak.
Ia membuka tasnya.
"Ini pak, selimut Utsman, takutnya Utsman rewel dan ga bisa tidur"
"Sepertinya tidak perlu" mata bapak melirik ke arah tempat tidur Utsman.
Andin tertegun.
Utsman tengah tidur dalam pelukan Hamid di ranjangnya.
"Ini Andin juga bawakan soto sama kue-kue untuk Bapak & Hamid, siapa tahu malam-malam laper" Andin menyodorkan tas yang berisi makanan. Tas kedap yang membuat makanan tetap hangat.
Bapak menganggukan kepala.
"Ini ada mainan Utsman juga"
"Kamu mau nginep.di sini?" bapak bertanya
"Ngga Pak" Andin mengelak.
"Kalau gitu, istirahatlah, semalam kamu kurang tidur"
"Iya Pak"
"Ayo bapak anter" bapak berdiri.
"Utsman?" Andin ragu.
"In syaa Allah gapapa, dari tadi tenang sama Hamid"
Andini tak punya pilihan.
Dingin. Malam selalu menawarkan dingin. Apalagi di bulan Januari, dimana hujan tak lelah mengguyur bumi. Dingin itu terasa semakin menggema dalam hampa. Itulah yang dirasakan Andin. Hanya lantunan dzikir yang mampu menghangatkan. Mengusir hampa dan dingin yang terus berusaha mencuri bahagia.
"Andin, kamu tak berfikir untuk menikah lagi?" bapak hati-hati memulai pembicaraan.
"Yang Andin pikirkan sekarang hanya Utsman, Pak, Andin ga mikir apa-apa lagi"
"Kamu tak berfikir untuk mencarikan ayah untuk Utsman?"
"Siapa Pak yang mau menerima Andin dan Utsman"
"Hamid?, bagaimana menurutmu?"
"Hamid pulang karena mau ta'aruf Pak" Andin menjelaskan.
Bapak diam sejenak.
"Tapi semuanya belum pasti kan?"
Giliran Andin yang diam.
"Bagaimana kalau bapak bicara dengan Hamid"
"Tidak boleh menawar barang yang sedang ditawar orang lain Pak" Andini mengingatkan.
"Andin juga ga enak, dulu Andin pernah menolak Hamid" lanjut Andin.
Bapak hanya diam.
Hingga Andin turun.
"Bapak ngga ikut turun?" Andin menegaskan.
Bapak menjawab dengan gelengan kepala.
Barangkali sudah menjadi taqdir pintu rumah sakit untuk diperlakukan dengan sangat hati-hati.
Setiap tangan yang membukanya seolah memperlakukannya sebagai barang rapuh yang harus dipegang lembut.
Pak Teja, bapak Andini membuka pintu pelan.
Dilihatnya Utsman tengah memegang mainan. Duduk di sofa.
Ia menarik nafas panjang. Seolah ada beban berat yang menghimpit dadanya. Beban yang ingin segera ia lepaskan.
Perlahan bapak Andini berjalan ke arah sofa.
Bukan hanya tengah bermain. Utsman tengah makan disuapi Hamid. Ada haru yang menyeruak di hati kakeknya Utsman. "Andai pria baik ini bisa menjadi ayah untuk Utsman" begitu batinnya.
"Maaf tadi bapak ga kasih kabar kalau mengantar Andin" kalimat itu yang pertama kali di sampaikan.
"Tidak apa-apa, Pak, Utsman dari tadi tenang" Hamid menjawab sopan.
Sang kakek mencoba mendekat pada cucunya, mengulurkan tangan untuk menggendongnya. Tapi sang cucu menggeleng, merapatkan badan pada Hamid.
Ada desiran pedih di hati sang kakek.
Hamid menghapus sisa makanan di bibir Utsman. Ia menyodorkan sesuap makanan lagi. Utsman menggeleng.
Hamid bangkit sambil menggendong Ustman di peluknya. Diusap-usapnya punggung kecil itu dengan kelembutan dalam ayunan.
Ia teringat ibunya yang selalu memperlakukan demikian. Hingga matanya terpejam. Damai dipeluk malam.
Hamid perlahan menidurkan Utsman di ranjang rumah sakit.
Perut yang kenyang, hati yang tenang membuat Utsman nyaman dalam impian.
Hamid mendekati bapak yang tengah membuka Al Quran.
"Alhamdulillah Utsman sudah tenang, tadi dokter visit, katanya kalau Utsman sudah tidak panas lagi, lusa bisa pulang" Hamid membuka pembicaraan.
"Alhamdulillah, semoga tidak ada apa-apa"
"Sepertinya tidak ada apa-apa, ini hasil cek labnya" Hamid menyodorkan amplop.
Bapak membuka & membaca
"Pak" Hamid terlihat serius memandang wajah bapak Andini dengan seksama.
Bapak Andini membalas pandangan lelaki yang sejak lama sudah dianggap sebagai anaknya sendiri.
"Mungkin ini waktu yang kurang tepat" Hamid ragu. Tenggorokannya tiba-tiba tercekat. Jantungnya berdebar keras. Ia berusaha mengumpulkan semua keberanian. Mengusir jauh-jauh semua keraguan.
"Mohon maaf kalau Hamid tidak.sopan, menyampaikan dalam kondisi seperti ini, kalau bapak berkenan, Hamid ingin menjadi ayah untuk Utsman dan menjadi suami untuk Andini"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar