Rabu, 18 Maret 2020

Cinta Seindah Sakura part 4

Sakura Bumi Eropa
( Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 4.

Menjaga wanita agar tetap dalam fitrahnya, laksana menjaga agar keindahan surgawi ada di bumi.

Lihatnya betapa hati lembutnya mampu mengorbankan apapun untuk kecintaannya.

Jika ia Allah ijinkan untuk memiliki seratus nyawa, sepertinya ia akan korbankan semua, agar kecintaannya bahagia.

Jika ia Allah uji hanya memiliki satu mata, ia akan rela memberikan pada kecintaanya, meski kecintaannya tak pernah meminta.

Jika ia harus memberikan nafas pada kecintaanya, agar sang kecintaan bisa menikmati hidup dalam kebahagiaan, paru-paru pun akan ia berikan, meski sang kecintaan tak pernah mengisyaratkan.

Jika ia harus memberikan jantung demi hidup sang kecintaan, itupun akan diberikan, demi menyambung nadi sang kecintaan, meski sang kecintaan tak menginginkan.

Jika ia harus memberikan tangan, maka ia akan rela memberikan anugrah untuk mencari berkah itu pada sang kecintaan, meski sang kecintaan menolaknya

Jika ia harus memberikan kaki pada sang kecintaan, ia akan rela melepaskan, agar sang kecintaan bisa berjalan menikmati indahnya alam, meski sang kecintaan enggan.

Kamu tahu, siapa yang paling dicintai wanita?
Anaknya.

Namun ketika wanita terluka, jangan salahkan jika semua cinta dan pengorbanan akan membusuk menjadi murka.
Surga yang diinginkan tak akan ada. Yang terlihat hanyalah amarah yang membakar semua.
Itulah wanita.

Pun begitulah Andini bagi Utsman, sang kecintaan yang Allah titipkan.
Andini tak menunda untuk bersegera menjemput kebahagiaan anaknya.

Apalah artinya hati jika sang anak mengingkan yang berbeda.
Apalah artinya rasa, jika sang anak terlihat lebih ceria
Apalah artinya gengsi, jika menghalang sang anak dari bahagia.
Itulah kenapa Andini sama sekali tak menunda.

Hamid sama sekali tak menyangka akan kebersegeraan Andini.

Sepuluh tahun, bukan waktu yang sebentar untuk sebuah penantian.
Sepuluh tahun, ada do'a yang tak putus agar wanita yang ia cintai Allah jaga dalam kebaikan, dalam kebahagiaan.

Sepuluh tahun,
Kadang ada rasa yang menggelora, mengantarnya pada angan bahagia
Kadang ada pedih yang memerih, mengantarnya pada sujud, mengadu pada Allah, Sang Pemberi Rindu.
Kadang putus asa menyapa dan ia ingin berbalik arah, mencari yang lain saja.

Namun apalah daya, cintanya menjadi ujian dalam masa yang begitu lama.
Kini, ujian itu seolah berakhir.
Semua telah selesai dalam waktu yang tak terduga.

Hamid merasa karpet merah seperti dihamparkan untuknya.
Taman bunga seperti dibangunkan di sisi kanan kirinya.
Istana dan mahkota seperti tengah menyambutnya.

Namun ia faham. Ada tugas dan tanggung jawab berat setelahnya.
Ia harus menjaga Utsman dan Andini, tak boleh sama sekali menyakiti mereka.
Ia harus siap berpeluh, membangunkan surga untuk keduanya.
Ia harus siap merengkuh, agar keduanya nyaman bahagia bersamanya.
Ia harus membangun pagar-pagar tinggi dalam do'a dan usaha, agar semua terjaga dari api neraka.
Ia harus siap selalu waspada dan terjaga, agar syaitan dan segala tipu dayanya tak menjerumuskan mereka.
Ia harus memberikan segenap hati dan jiwa, agar semua bisa selamat, berkumpul kembali di surgaNya kelak.

Pak Teja ternganga mendengar apa yang disampaikan putri kesayangannya. Antara tak menyangka dan sejuta bahagia yang menyapa.
Ia meneguk kopi, sekedar menenangkan diri.

"Alhamdulillah..." kalimat itu yang keluar dari mulut Hamid, juga calon mertuanya.
"Andin mau minta apa untuk mahar?" Hamid bertanya.

Andini terdiam.
Ia berfikir. Mencari apa yang ia inginkan. Ia tak menginginkan apapun. Ia hanya ingin Utsman bahagia. Itu saja.
"Andin minta tabungan haji untuk Utsman"
"Itu saja?" Hamid memastikan.
Andini menganngguk.
"Kakak tambahkan yang lain ya, seperangkat alat sholat dan perhiasan"
Andini menganngguk.
"Terima kasih Kak"

"Ayo makan dulu, masakannya  udah siap" tiba-tiba mama Andini mengingatkan.
Waktu makan siang memang sedikit terlewat. Lapar memang terlanjur pergi setelah begitu saja diabaikan. Hidangan kali ini terasa begitu nikmat dan lezat. Bukan karena lapar. Bukan karena resep bumbu rahasia. Tapi karena bahagia tengah menyapa jiwa.

"Nak Hamid, sudah memikirkan kapan waktunya?" bapak meretas kembali jalan bahagia.
"Inginnya sih segera Pak, tapi saya mau bicarakan dulu dengan ibu" Hamid menjawab.
"Ibu inginnya pernikahan saya dilaksanakan bareng dengan pernikahan Hamdi, mudah-mudahan waktunya cocok dengan keluarga calonnya Hamdi"
Bapak menganngguk.

Rumah Hamid selalu ramai. Seolah menjadi magnet untuk orang-orang di sekitarnya.
Teman-teman Rika dan Arina. Teman-teman Nura, selalu betah di rumah ini.
Kali ini rumah tengah ramai dengan celoteh Hanana dan  Jundi. Mereka bercanda dengan tante mudanya. Riang.

"Assalamualaikum" Hamid menyapa semua.
"Wa'alaikum salam warohmatuloohi wa baarokaatuh" penghuni rumah menjawab kompak.
"Tampak nya ada kabar bahagia nih" Mukhlis menyapa Hamid.
Hamid menjawab dengan senyuman lebar.
"Do'akan saja" jawabnya pendek.
"Bagi-bagi dong kabar bahagianya" Nura meminta dengan penasaran.
"Nanti pasti kakak kabarkan, Kakak juga ingin minta saran dan masukan dari semua, tapi Kakak ingin berterima kasih sama Allah dulu"
Nura sangat faham akan kebiasaan Hamid ini.
Hamid melangkah.
Nura mengejar. Lalu membisukan sesuatu pada Hamid.

Hamid melanjutkan langjahnya ke kamarnya.
Membersihkan diri. Setelah itu tersungkur bersujud.
Menghaturkan rasa syukur pada Allah yang telah mengatur semuanya.
Ada air mata membasah di pipinya. Air mata haru.
Sujud itu ia lanjutkan dengan dua raka'at sholat taubat dan dua raka'at sholat hajat.
Ia lanjutkan dengan melantunkan syahdu surat Ar Rohmaan.

Pintu kamarnya diketuk.
"Hamid, ibu boleh masuk, Nak?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar