Sakura Bumi Eropa
( Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )
Part 5.
"Kamu baru pulang, mau ibu masakin apa?"
"Ngga usah Bu, Hamid udah makan"
"Gimana kabar Utsman dan Andini?"
"Alhamdulillah Utsman udah sembuh"
"Alhamdulillah, ibu ikut seneng dengernya"
Sang ibu diam sejenak.
"Ibunya Nina menanyakan tentang kelanjutan ta'aruf. Ayah Nina sakit keras, ibunya Nina ingin Nina cepet nikah"
Hamid diam.
Ia mencoba menatap wajah wanita yang paling dicintainya. Wanita yang telah mengorbankan seluruh hidup untuk kebahagiaan anak-anaknya.
"Bu, apa ibu pernah menjanjikan sesuatu pada ibunya Nina?" Hamid bertanya. Sangat hati-hati.
"Seingat ibu sih ngga, waktu itu sehabis reuni, d group rame untuk saling besanan lalu didata siapa yang masih punya bujang dan gadis. Ibu dikontak ibunya Nina"
"Apa ibu menceritakan sesuatu?"
"Ibu hanya cerita kalau ibu punya bujang yang lagi di Austria, ibunya Nina cerita kalau punya anak gadis yang siap nikah, ibu cuma bilang nanti akan ibu bicarakan dulu. Lalu ibu dikasih CV. Itu yang ibu kasih ke Hamid"
"Syukurlah kalau begitu. Kita do'akan saja, semoga Nina segera Allah pertemukan dengan jodohnya dan semoga ayahnya Nina lekas sembuh"
"Kamu tidak berniat melanjutkan ta'aruf dengan Nina?"
"Tidak Bu, Hamid udah bulat mau menikahi Andini, Hamid ingin jadi ayah Utsman yang yatim, semoga ini jadi jalan bagi Hamid agar kelak di akhirat berdampingan dengan Nabi saw" panjang lebar Hamid menjelaskan.
"Bagaimana dengan Andini?" ibu bertanya ragu.
"Menurut ibu bagaimana?" Hamid balik bertanya.
"Senyum dan matamu sudah menjawabnya" ibu menjawab sambil memeluk anaknya.
"Ibu tak kan pernah berhenti mendoakanmu, nak"
"Terima kasih Bu"
Hamdi, Mukhlis, Nura, Ibu, juga Hamid duduk mengelilingi meja makan. Ibu menyiapkan makan malam.
Hamid hanya menikmati secangkir kopi.
"Hamdi, kamu ridho ga, kalau aku nikah duluan" Hamid memandang adik kembarnya serius.
"Kalau aku ga ridho gimana?" Hamdi balik bertanya. Datar
"Kenapa ga ridho?" Hamid balik bertanya.
"Kenapa ya?" Hamdi berfikir.
"Soalnya ibu ingin kita nikah bareng sampai aku harus menunggu setahun lebih"
"Seberapapun kita menginginkan dan merencanakan, kalau Allah belum ijinkan ya belum akan terlaksana" Nura menengahi
"Iya kan, Mas?" Nura meminta dukungan suaminya.
Mukhlis tersenyum.
"Biar ibu aja yang memutuskan" Mukhlis menjawab singkat.
"Ibu melihat Maya masih belum siap, itu sebenarnya. Maya masih kekanak-kanakan" ibu menjelaskan.
"Apa Maya ga cerita kalau ibu memintanya banyak belajar tentang pernikahan?" ibu bertanya.
"Cerita sih Bu, tapi emang belum sempat karena urusan pekerjaan" Hamdi menjelaskan
"Tapi nanti sambil dijalani kan bisa sambil belajar Bu" Hamdi mencoba membela.
"Kasihan nanti Maya, dia akan banyak kagetnya kalau masih belum siap dan masih mementingkan karir" Ibu menjelaskan
Hamdi tak menjawab lagi.
Ia memandang kakak kembarnya.
"Jadi Hamid serius nih mau nikah sama Andini secepatnya?" Hamdi bertanya.
"Kalau kamu.ridho, ikhlas & bisa ikut bahagia" Hamid menjelaskan. Walau bagaimanapun, ia tak mau melihat adiknya sedih dan kecewa.
"Serius?" Hamdi menegaskan ulang.
"Iya"
"Kapan"
"Pengennya sih sekarang" Hamid tertawa.
"Ya udah, mau minta kado apa? Aku beliin" Hamdi menantang
"Serius kamu ridho?" Hamid balik bertanya
"Jangan sampai aku berbalik pikiran nih" Hamdi mengancam.
Semua tertawa. Bahagia.
******
Andini bertamu pada neneknya Utsman dan Umar. Keluarga almarhum suaminya.
Umar tampak sehat dan montok.
Dua anak kembar itu bermain. Mereka seolah tidak tahu dan tidak menyadari bahwa mereka adalah saudara kembar.
Kerinduan untuk selalu bersama Umar, memeluknya erat, sering hadir di hati Andini.
Namun Andini hanya bisa menyampaikan rindu itu dalam do'a.
Melihat Umar terawat sehat, Andini bahagia.
Melihat Umar tersenyum riang, Andini senang.
Melihat Umar tersenyum padanya seraya memanggilnya dengan panggilan "umma" bagi Andini itu adalah karunia.
Meski Andini harus menjaga hati, menjaga sikap, menjaga jarak, agar tak ada satupun yang terluka.
Tidak dirinya.
Tidak mertuanya
Tidak juga Zamzam dan Dinda.
"Andini, apa kabar?" Dinda menyambut dengan pelukan.
"Baik" Andini menjawab, pendek.
"Maaf kami belum sempat menengok Utsman lagi" Zamzam menambahkan.
"Gapapa, alhamdulillah Utsman udah sehat" Andini menjawab seperlunya. "Umi ada?" Andini bertanya.
"Ada, aku panggilkan ya" Dinda berlalu.
Andini duduk di sofa.
Dulu ia merasa sangat bebas di rumah ini. Kini ia harus bisa menahan diri. Semuanya telah berbeda. Meski ikatan darah antara keluarga ini dengan anak-anaknya tak kan pernah pupus selamanya.
Zamzam dan Dinda menemani uminya menyambut Andini.
Umi tampak semakin tua dan lelah. Kerutan di wajahnya bertambah.
Andini menyambut wanita tua itu dengan sikap takdzim. Sama seperti dulu. Andini masih mencintai dan menyayanginya.
"Umi sehat?" Andini bertanya.
"Alhamdulillah" umi menjawab pendek.
"Ini Andini bawakan martabak kesukaan umi dan abi" Andini menyodorkan bingkisan.
"Utsman mana?" sang nenek bertanya.
"Lagi main sama Umar"
"Udah sehat ya. Alhamdulillah"
"Iya My, alhamdulillah dirawatnya cuma tiga hari" Andini diam sejenak.
"Maaf Andini baru menyempatkan menengok umi lagi, Andini seminggu ini juga belum bisa ke rumah tahfidz akhwat. Ada hal-hal yang harus Andini urus" Andini menjelaskan hati-hati.
Umi diam mendengarkan. Menyimak baik-baik. Menyerap semua kata yang sampai padanya.
"Umi, sebelumnya Andini minta maaf karena Andini ingin menyampaikan sesuatu" Andini menarik nafas panjang.
Ada beban berat di dadanya.
Umi masih diam menyimak.
Zamzam dan Dinda ikut diam dan menyimak. Seolah jantung mereka seirama dengan jantung Andini.
"Sampaikan aja Kak, tidak usah sungkan" Zamzam mencoba mencairkan suasana.
"Ada seseorang yang ingin menyayangi dan menjadi ayah sambung Utsman" hanya itu yang sanggup Andini sampaikan.
"Sejak pulang nengok Utsman di rumah sakit, umi sudah menduga" umi mulai berbicara.
Andini diam. Cemas menunggu jawaban selanjutnya.
"Umi bisa melihat kalau laki-laki yang menggendong Utsman itu lelaki yang sholih" umi kembali diam.
Diam yang membuat debaran jantung Andini semakin kencang.
"Kalau dia bisa menyayangi Utsman dan menerima kamu apa adanya, umi akan mendoakan kamu. Walaupun Adlan sudah tidak ada, bagi umi kamu tetap anak umi dan umi ingin kamu bahagia"
Andini spontan tersungkur, mencium kaki umi.
"Terima kasih umi" ada air mata yang tak sanggup dibendung Andini.
"Andini janji akan tetap mendoakan mas Adlan. Andini janji akan mendidik Utsman untuk menjadi anak sholih yang akan memberi mahkota cahaya di surga untuk ayah kandungnya"
Rasa haru itu menular dengan cepatnya. Air mata juga telah tumpah di mata Zamzam. Dimata Dinda. Dimata umi yang tangannya tak henti membelai kepala Andini.
Mereka tak sadar kalau si kembar Umar dan Utsman tengah melihat pemandangan itu dengan penuh tanda tanya.
**
Akhirnya hari itu tiba.
Andini terlihat sangat cantik menggunakan baju pengantin brukat berwarna baby green.
Nura dan ibu yang merancang semuanya.
Hamid menggunakan jas warna hijau gelap.
Pasangan yang serasi.
Keluarga menggunakan seragam batik hijau tosca motif daun. Termasuk juga Utsman.
**********
OTW ke Bandung
Bandung emang Baper yang Tak Terbendung.
( Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )
Part 5.
"Kamu baru pulang, mau ibu masakin apa?"
"Ngga usah Bu, Hamid udah makan"
"Gimana kabar Utsman dan Andini?"
"Alhamdulillah Utsman udah sembuh"
"Alhamdulillah, ibu ikut seneng dengernya"
Sang ibu diam sejenak.
"Ibunya Nina menanyakan tentang kelanjutan ta'aruf. Ayah Nina sakit keras, ibunya Nina ingin Nina cepet nikah"
Hamid diam.
Ia mencoba menatap wajah wanita yang paling dicintainya. Wanita yang telah mengorbankan seluruh hidup untuk kebahagiaan anak-anaknya.
"Bu, apa ibu pernah menjanjikan sesuatu pada ibunya Nina?" Hamid bertanya. Sangat hati-hati.
"Seingat ibu sih ngga, waktu itu sehabis reuni, d group rame untuk saling besanan lalu didata siapa yang masih punya bujang dan gadis. Ibu dikontak ibunya Nina"
"Apa ibu menceritakan sesuatu?"
"Ibu hanya cerita kalau ibu punya bujang yang lagi di Austria, ibunya Nina cerita kalau punya anak gadis yang siap nikah, ibu cuma bilang nanti akan ibu bicarakan dulu. Lalu ibu dikasih CV. Itu yang ibu kasih ke Hamid"
"Syukurlah kalau begitu. Kita do'akan saja, semoga Nina segera Allah pertemukan dengan jodohnya dan semoga ayahnya Nina lekas sembuh"
"Kamu tidak berniat melanjutkan ta'aruf dengan Nina?"
"Tidak Bu, Hamid udah bulat mau menikahi Andini, Hamid ingin jadi ayah Utsman yang yatim, semoga ini jadi jalan bagi Hamid agar kelak di akhirat berdampingan dengan Nabi saw" panjang lebar Hamid menjelaskan.
"Bagaimana dengan Andini?" ibu bertanya ragu.
"Menurut ibu bagaimana?" Hamid balik bertanya.
"Senyum dan matamu sudah menjawabnya" ibu menjawab sambil memeluk anaknya.
"Ibu tak kan pernah berhenti mendoakanmu, nak"
"Terima kasih Bu"
Hamdi, Mukhlis, Nura, Ibu, juga Hamid duduk mengelilingi meja makan. Ibu menyiapkan makan malam.
Hamid hanya menikmati secangkir kopi.
"Hamdi, kamu ridho ga, kalau aku nikah duluan" Hamid memandang adik kembarnya serius.
"Kalau aku ga ridho gimana?" Hamdi balik bertanya. Datar
"Kenapa ga ridho?" Hamid balik bertanya.
"Kenapa ya?" Hamdi berfikir.
"Soalnya ibu ingin kita nikah bareng sampai aku harus menunggu setahun lebih"
"Seberapapun kita menginginkan dan merencanakan, kalau Allah belum ijinkan ya belum akan terlaksana" Nura menengahi
"Iya kan, Mas?" Nura meminta dukungan suaminya.
Mukhlis tersenyum.
"Biar ibu aja yang memutuskan" Mukhlis menjawab singkat.
"Ibu melihat Maya masih belum siap, itu sebenarnya. Maya masih kekanak-kanakan" ibu menjelaskan.
"Apa Maya ga cerita kalau ibu memintanya banyak belajar tentang pernikahan?" ibu bertanya.
"Cerita sih Bu, tapi emang belum sempat karena urusan pekerjaan" Hamdi menjelaskan
"Tapi nanti sambil dijalani kan bisa sambil belajar Bu" Hamdi mencoba membela.
"Kasihan nanti Maya, dia akan banyak kagetnya kalau masih belum siap dan masih mementingkan karir" Ibu menjelaskan
Hamdi tak menjawab lagi.
Ia memandang kakak kembarnya.
"Jadi Hamid serius nih mau nikah sama Andini secepatnya?" Hamdi bertanya.
"Kalau kamu.ridho, ikhlas & bisa ikut bahagia" Hamid menjelaskan. Walau bagaimanapun, ia tak mau melihat adiknya sedih dan kecewa.
"Serius?" Hamdi menegaskan ulang.
"Iya"
"Kapan"
"Pengennya sih sekarang" Hamid tertawa.
"Ya udah, mau minta kado apa? Aku beliin" Hamdi menantang
"Serius kamu ridho?" Hamid balik bertanya
"Jangan sampai aku berbalik pikiran nih" Hamdi mengancam.
Semua tertawa. Bahagia.
******
Andini bertamu pada neneknya Utsman dan Umar. Keluarga almarhum suaminya.
Umar tampak sehat dan montok.
Dua anak kembar itu bermain. Mereka seolah tidak tahu dan tidak menyadari bahwa mereka adalah saudara kembar.
Kerinduan untuk selalu bersama Umar, memeluknya erat, sering hadir di hati Andini.
Namun Andini hanya bisa menyampaikan rindu itu dalam do'a.
Melihat Umar terawat sehat, Andini bahagia.
Melihat Umar tersenyum riang, Andini senang.
Melihat Umar tersenyum padanya seraya memanggilnya dengan panggilan "umma" bagi Andini itu adalah karunia.
Meski Andini harus menjaga hati, menjaga sikap, menjaga jarak, agar tak ada satupun yang terluka.
Tidak dirinya.
Tidak mertuanya
Tidak juga Zamzam dan Dinda.
"Andini, apa kabar?" Dinda menyambut dengan pelukan.
"Baik" Andini menjawab, pendek.
"Maaf kami belum sempat menengok Utsman lagi" Zamzam menambahkan.
"Gapapa, alhamdulillah Utsman udah sehat" Andini menjawab seperlunya. "Umi ada?" Andini bertanya.
"Ada, aku panggilkan ya" Dinda berlalu.
Andini duduk di sofa.
Dulu ia merasa sangat bebas di rumah ini. Kini ia harus bisa menahan diri. Semuanya telah berbeda. Meski ikatan darah antara keluarga ini dengan anak-anaknya tak kan pernah pupus selamanya.
Zamzam dan Dinda menemani uminya menyambut Andini.
Umi tampak semakin tua dan lelah. Kerutan di wajahnya bertambah.
Andini menyambut wanita tua itu dengan sikap takdzim. Sama seperti dulu. Andini masih mencintai dan menyayanginya.
"Umi sehat?" Andini bertanya.
"Alhamdulillah" umi menjawab pendek.
"Ini Andini bawakan martabak kesukaan umi dan abi" Andini menyodorkan bingkisan.
"Utsman mana?" sang nenek bertanya.
"Lagi main sama Umar"
"Udah sehat ya. Alhamdulillah"
"Iya My, alhamdulillah dirawatnya cuma tiga hari" Andini diam sejenak.
"Maaf Andini baru menyempatkan menengok umi lagi, Andini seminggu ini juga belum bisa ke rumah tahfidz akhwat. Ada hal-hal yang harus Andini urus" Andini menjelaskan hati-hati.
Umi diam mendengarkan. Menyimak baik-baik. Menyerap semua kata yang sampai padanya.
"Umi, sebelumnya Andini minta maaf karena Andini ingin menyampaikan sesuatu" Andini menarik nafas panjang.
Ada beban berat di dadanya.
Umi masih diam menyimak.
Zamzam dan Dinda ikut diam dan menyimak. Seolah jantung mereka seirama dengan jantung Andini.
"Sampaikan aja Kak, tidak usah sungkan" Zamzam mencoba mencairkan suasana.
"Ada seseorang yang ingin menyayangi dan menjadi ayah sambung Utsman" hanya itu yang sanggup Andini sampaikan.
"Sejak pulang nengok Utsman di rumah sakit, umi sudah menduga" umi mulai berbicara.
Andini diam. Cemas menunggu jawaban selanjutnya.
"Umi bisa melihat kalau laki-laki yang menggendong Utsman itu lelaki yang sholih" umi kembali diam.
Diam yang membuat debaran jantung Andini semakin kencang.
"Kalau dia bisa menyayangi Utsman dan menerima kamu apa adanya, umi akan mendoakan kamu. Walaupun Adlan sudah tidak ada, bagi umi kamu tetap anak umi dan umi ingin kamu bahagia"
Andini spontan tersungkur, mencium kaki umi.
"Terima kasih umi" ada air mata yang tak sanggup dibendung Andini.
"Andini janji akan tetap mendoakan mas Adlan. Andini janji akan mendidik Utsman untuk menjadi anak sholih yang akan memberi mahkota cahaya di surga untuk ayah kandungnya"
Rasa haru itu menular dengan cepatnya. Air mata juga telah tumpah di mata Zamzam. Dimata Dinda. Dimata umi yang tangannya tak henti membelai kepala Andini.
Mereka tak sadar kalau si kembar Umar dan Utsman tengah melihat pemandangan itu dengan penuh tanda tanya.
**
Akhirnya hari itu tiba.
Andini terlihat sangat cantik menggunakan baju pengantin brukat berwarna baby green.
Nura dan ibu yang merancang semuanya.
Hamid menggunakan jas warna hijau gelap.
Pasangan yang serasi.
Keluarga menggunakan seragam batik hijau tosca motif daun. Termasuk juga Utsman.
**********
OTW ke Bandung
Bandung emang Baper yang Tak Terbendung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar