Senin, 02 Maret 2020

Labirin Cinta Andini part 24

Labirin Cinta Andini
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 24.

Kamu tahu seperti apa burung yang satu sayapnya patah?
Ia harus menahan sakit teramat sakit.
Sakit dari tulang yang patah
Sakit dari bulu-bulu yang tercabut.
Sakit mengepak sayap yang satu karena hilangnya keseimbangan.
Sakit melihat kawanan burung lain masih bisa terbang sementara ia hanya bisa diam memandang.
Dan yang paling sakit dari semua sakit yang telah ada adalah sakit karena menyadari ia tak kan bisa terbang lagi.

****

Halaman rumah Andini dipenuhi dengan karangan bunga.  Namun seisi ruangannya dipenuhi dengan air mata.
Lantunan Al Quran terdengar merdu setiap malam, dilantukan oleh para santri tahfidz. Namun kekosongan membahana di jiwa Andini.
Semua terasa berbeda. Kontras antara hitam dan putih.
Hanya satu.yang sama. Do'a.
Do'a do'a dari keluarga, dari sahabat, dari rekan dan semua yang mengenal Adlan.

Ada pelukan ayah yang menguatkan. Ada belaian bunda yang menghangatkan.
Ada Nura yang selalu setia menemani. Tapi tidak ada belahan jiwa di sisi, rasanya semua tetap saja hampa.

Seminggu berlalu. Lantunan Al Quran kini hanya Andini yang membacakan. Lirih dalam duka.
Rasa sepi itu mulai menghujam.
Masih ada satu atau dua ucapan bela sungkawa datang.
Tapi semua orang telah kembali pada kesibukan mereka masing-masing.
Tinggal Andini, sendiri dalam perih.

Ibarat luka. Seminggu kemarin, tubuh masih belum merasakan sakit yang sebenarnya. Tubuh seperti alami melindungi diri dengan anestesi alami. Seperti luka yang terasa kebas dan baal saat pertama. Sadar akan sakit yang ada. Tapi bukan sakit yang sesungguhnya.

Sakit yang sesungguhnya datang ketika rasa kebas dan baal itu hilang. Seperti itulah Andini sekarang.
Semakin hari semakin sakit.
Semakin hari semakin sunyi.
Semakin hari semakin pedih.
Bahkan senyum Utsman dan Umar pun tak mampu mengobatinya.

"Andini, aku tahu seperti apa kesedihanmu" Nura mencoba mendekati
"Kamu tidak pernah tahu Nura" Andini menyanggah.
"Iya, aku tidak tahu, aku hanya ingin memahami" Nura mengalah.
"Masa idahmu sudah habis, artinya kamu harus mulai mencoba bangkit" Nura dengan sangat hati-hati.
"Bangkit bukan berarti melupakan Adlan, aku tahu, sampai kapanpun kamu tidak akan pernah melupakan Adlan, lelaki yang paling kamu cintai"
Andini diam. Air matanya tumpah lagi.
"Tapi bangkit untuk melanjutkan cita-cita Adlan"
Nura menarik nafas panjang.

Andini tercenung.
Ia sadar. Hidup akan terus berlanjut hingga masa pulang ke haribaannya tiba.
Andini sadar, ia tidak boleh menyia-nyiakan semuanya.
Andini tahu, semua keluarga, dan sahabat tak ingin melihatnya terus larut dalam duka.

Andini memeluk Nura. Tangisnya tumpah lagi.
"Terima kasih Nura" hanya itu yang bisa dibisikan Andini.

"Umma, umma" Utsman berlari kecil menuju Andini. Satu tangannya memegang tangan kakeknya.

Utsman lebih sering main dengan kakeknya. Utsman masih suka mencari abahnya.
Terutama ketika malam.
Abahnya menggendong dan mengayun Utsman sampai tertidur. Utsman akan tidur lelap ketika ia berselimutkan sarung milik almarhum ayahnya.

Andini memandangi Utsman.
Utsman satu-satunya harapan bagi Adlan. Tidak. Utsman dan Umar dua cahaya bagi.Adlan. Dua anak yang nanti akan memasangkan mahkota cahaya Al Quran untuk Adlan dan aku. Andini mulai bangkit.

Andini memulai hari barunya.
Adlan akan sedih di alam sana kalau aku terus terpuruk.

Adlan meninggalkan warisan yang cukup banyak. Zamzam yang mengurus semuanya. Zamzam menghitung semua kekayaan perusahaan dengan teliti.
Zamzam tetap mengalihakan saham perusahaan milik Adlan untuk Utsman. Andini mendapatkan rumah yang telah lama dibeli. Juga sejumlah uang.
"Aku ingin rumah itu jadi wakaf untuk rumah tahfidz atas nama aku dan Adlan" begitu niat yang Andini utarakan pada umi.

Semula umi keberatan.
Tapi Zamzam membela "Itu sudah jadi milik Andini, jika dipergunakan untuk kebaikan, sebaiknya umi mendukung, Andini masih tinggal.dengan ayahnya & ayahnya tidak akan membiarkan Andini kekurangan"
Akhirnya umi menerima.

Andini memulai hari barunya.
Adlan akan sedih di alam sana kalau aku terus terpuruk.
Andini mulai menghafalkan Al Quran kembali.
Ia menjadi pembina di rumah  tahfidz yang baru. Rumah tahfidz untuk akhwat.

Bapak Andini mendukung penuh. Keluarga Adlan juga.
Dinda membantu. Nura juga kini ikut membantu Andini di rumah tahfidz akhwat.

Hati telah berganti. Namun bagi Andini ada kekosongan yang seolah tak kan pernah terisi.
Ada desir-desir sakit yang menyergap dalam rindu, ketika ia harus melangkah ke tempat di mana ia dan Adlan pernah bersama. Ada pilu yang menghujam. Pilu yang ia coba angkat dengan do'a dan kepasrahan.
"Andini, apa Andini akan selamanya sendiri? Umi bertanya hati-hati ketika rumah tahfidz tengah sepi.
Semua.sedang sholat berjamaah di aula tengah. Hanya Umi dan Andini di.situ.
Harusnya umi ikut sholat, tapi lebih memilih menemani Andini.
"Mungkin sendiri lebih baik Umi" Andini mencoba menjawab bijak.
"Jika ada yang melamar bagaimana?"
"Aku belum bisa melupakan Mas Adlan Mi, mungkin tak akan pernah bisa"
"Iya umi faham, tapi walau bagaimanapun, menjadi istri lebih baik daripada menjanda. Menjadi istri akan kembali menggenapkan agama"
Andini tercenung.
"Sepertinya Andini ingin sendiri dulu, in syaa Allah banyak ibadah sunah yang bisa Andini laksanakan" Andini menegaskan.

"Kalau kamu sudah siap menikah, umi ingin kamu tetap menjadi menantu umi" lembut umi menyampaikan maksudnya.
Namun bagi Andini seperti petir yang menggelegar. Petir di malam hari yang membangunkannya ketika tengah istirahat dalam lelah.
"Umi" Andini memegang tangan umi. Ada beban berat yang semakin berat dirasakannya.
"Dengan memberi umi cucu dari Mas Adlan, Andini sudah menjadi menantu umi dan selalu menjadi menantu umi. Tolong jangan meminta lebih"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar