Senin, 02 Maret 2020

Labirin Cinta Andini part 25

Labirin Cinta Andini
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad)

Part 25.

Andini masih sangat menyadari perasaan yang disimpan Zamzam. Namun perasaan yang dulu pernah singgah di hati Andini telah pergi. Tepat ketika Andini memutuskan untuk menerima Adlan.
Andini faham maksud umi. Namun bagi Andini, sendiri lebih berarti. Andini lebih memilih mengisi kehampaannya dengan mengasuh anak-anak di rumah tahfidz. Bersama mereka, Andini merasa hidupnya lebih berarti. Andini merasa ujian yang ia hadapi tak sebanding dengan yang menimpa anak-anak asuhnya.

Delapan anak asuh, dua ustadzah pembina tinggal di rumah itu. Andini meminta tetangga sebelah rumah untuk menjaga dan memantau ketika malam. Bapak usep yang dituakan di daerah itu menerima dengan senang hati. Apalagi kompensasi dan penghargaan yang diberikan Andini cukup besar.

Rumah tahfidz akhwat menginduk pada yayasan yang dipimpin ayahnya.
Sumbangan yang diterima dari donatur cukup banyak.
Apalagi Hamid berhasil membuat perjanjian dengan beberapa komunitas masyarakat indonesia yang ada di Eropa untuk menjadi donatur.

"Andini mau ikut jemput Hamid ga di bandara?" Nura menawarkan.
"Hamid pulang? Udah selesai?" Nura bertanya.
"Iya, belum selesai sih, tapi ada keperluan"
"Ooh"  hanya itu yang disampaikan Andini.
"Ikut ya?"
"Ngga kayaknya"

Masih ada desir-desir perih jika menjejakkan kaki pada tempat yang pernah dikunjungi Andini bersama Adlan. Kenangan itu seolah menghadirkan kembali kebahagiaan yang tak mungkin lagi dimiliki. Kenangan yang menguras rasa dan air mata.

"Nura, aku ikut" akhirnya Andini memutuskan.
Aku harus menuntaskan semua jejak kenangan. Aku harus menghapusnya tuntas semuanya. Begitu Andini memutuskan.

"Iya, mau ikut mobil siapa? Ikut bareng aku sama Mukhlis atau ikut mobil Hamdi bareng ibu dan anak-anak?"
"Aku mau dianter ayah aja, aku sekalian ingin lihat-lihat bandara bareng Utsman"

Tiga mobil berangkat ke bandara. Arika dan Arina ikut mobil Andini. "Aku kangen sama kakak, kakak udah lama ga main" Begitu Arina beralasan.

Mereka menunggu di kedatangan internasional.
Utsman ceria bermain bersama Arina dan Rika. Andini tersenyum melihatnya. Senyum yang sudah lama menghilang.
Dari dulu, adiknya Nura sudah menjadi adiknya. Kakaknya Nura juga sudah dianggap kakaknya.

Akhirnya yang ditunggu datang juga. Hamid tetlihat berjalan dari kejauhan. Jaket kulit dipegang di tangan kirinya. Tangan kanan menarik koper kabin. Di punggungnya ada tas ransel yang cukup besar.

Hamid mendekati rombongan.
Arina dan Rika menyambut dengan pelukan. Semuanya memeluk Hamid satu persatu. Hanya Andini yang menyambut dengan membungkukkan badan.
Utsman tiba-tiba melepaskan tangan ibunya. Mendekat pada Arika dan Arina, setengah berlari. Ia mengajak Arika dan Rina untuk main lagi. Main loncat-loncatan. Arina dan Arika menyambut Utsman dengan riang.
"Salim, ayo salim dulu" Arina menyodorkan tangan Utsman pada Hamid. Utsman menatap Hamid ragu. Hamid menyodorkan tangannya. Arina memegang tangan Utsman pada tangan Hamid. Utsman tidak menolak.  Tapi tak mau berlama-lama.

Setelah mengambil tas yang masuk bagasi, rombongan berjalan bersama.
"Kita makan malam dulu ya" Hamdi mengomando.
"Jangan di bandara" Nura mengusulkan.
Hamid menyetujui.

Mereka bergerak ke arah Bogor. Di perjalanan, singgah di sebuah rumah makan bernuansa Sunda. Semua memilih duduk di tempat lesehan.

Andini duduk bersama rombongan wanita. Nura, Ibu, juga Arika dan Rina. Utsman berlarian, bolak balik antara kakeknya dan ibunya.

"Bu, ibu yakin dengan keputusan ibu?" Nura bertanya pada ibu.
"Semuanya biarlah Hamid sendiri yang memutuskan, ibu hanya menunjukkan, ibu sudah lama berkomunikasi dengan ibu akhwatnya, dia temen SMA ibu" ibu menjelaskan.
"Sebenarnya aku kurang setuju Bu," Nura menyampaikan keberatan.
"Yang penting ketemuan dulu" ibu menegaskan.

"Kak Andini udah tahu belum?" Arika bertanya
"Apa?" Andini balik bertanya
"Kak Hamid mau ta'aruf katanya sama Kak Nina" Arika menjelaskan.
"Oh ya? Alhamdulillah, nanti kalian bisa punya kakak baru.
"Aku ga suka sama Kak Nina, aku lebih suka sama kak Maya" Arina terlihat cemberut.
"Kak Maya juga kan nanti akan jadi kakak kalian"
"Iya sih, kalau Kak Hamdi sama Kak Maya cocok" Arika menimpali

"Kalau jodoh itu pasti cocok, kan Allah yang memilihkan" Andini menjelaskan.

"Oh iya, kamu belum tahu ya Andini" Nura mengeluarkan handphone membuka galeri, memperlihatkan foto pada Andini "Ini Nina, anaknya sahabat ibu"
Layar handphone menampakkan wajah seorang perempuan.muda yang cantik. Ada tahi lalat kecil di bawah matanya. Kulitnya kuning langsat. Wajah yang terawat dibalut kerudung warna abu silver.
"Cantik, cocok dengan Hamid" Andini berkomentar.
"Tapi yang cantik fotonya, aslinya ngga" Arika nyeletuk.
"Masa sih?" Andini sekedar bertanya.
"Hu-uh" Arika mengangguk sambil cemberut.

Utsman tiba-tiba datang mengampiri. Utsman menarik tangan Andini. Tapi Utsman tidak sendiri. Tangan satunya memegang tangan Hamid.

Andini merasa sungkan. Akhirnya berdiri mengikuti kemauan Utsman. Namun Utsman begitu cepat berubah pikiran. Saat melihat Arika dan Arina. Utsman langsung lari mengajak mereka bermain.

Usai makan, rombongan pulang.
Andini kembali ke mobilnya bersama Arika dan Arina. Namun tidak bersama Utsman.
Utsman memilih ikut bersama Hamid di mobil Hamdi.

Malam telah gelap. Rombongan melaju ditemani kerlip gemintang di langit dan kerlip gemintang dari lampu-lampu mobil juga lampu rumah di kejauhan.
Utsman telah lelap di pangkuan Hamid.
"Bu" Hamid berkata pada ibunya.
"Kalau aku jadi ayah sambung anak yatim ini apakah ibu keberatan" Hamid bertanya.
Pertanyaan yang disambut senyum merekah dari Hamdi, juga sang ibu.

****************

Tamat.
Alhamdulillaah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar