Senin, 15 November 2021

Cinta Seindah Sakura

 Sakura Bumi Eropa

( Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )


Part 10.


Sebuah syal sulam berwarna baby green bertabur bunga sulam terlipat rapi dalam kotak yang baru Andini buka. 

Andini terpana melihatnya.

Berapa lama waktu yang digunakan Nina untuk merajutnya?


Selain syal ada juga sepasang sarung tangan dengan warna dan model yang sama.  Sarung tangan tercantik yang pernah Andini lihat.

Andini mencoba mengenakannya. Pas. Sangat pas. Ya, karena Ia dan Nina mempunyai ukuran baju dan sepatu yang sama. Tentu Nina mengukurnya dengan ukuran tangannya  


Andini tahu kalau Nina sangat suka dan terampil merajut. Seorang yang cukup terampil tentu tidak memerlukan waktu yang cukup banyak. Tapi tetap saja, satu set rajutan rompi, syal, tutup kepala dan sarung tangan tentunya bukan hal yang mudah untuk dikerjakan dalam waktu singkat.


Andini melihat satu lagi bungkusan yang tertinggal di dalam box. Sebuah photobook.

Andini membukanya.

Ada rasa haru saat melihat lembar demi lembarnya. 


Foto-foto lama yang direpro. Difoto ulang lalu dicetak.

Di tata dan diedit satu persatu. Setiap fotonya diberi caption. 

Foto masa lalu, masa muda, masa SMP, saat teknologi Digital belum terlalu populer.

Nina adalah salah satu diantara sedikit orang yang sudah menikmati teknologi foto digital  lebih awal.


"Persahabatan itu seperti tanaman, perjumpaan adalah bibitnya, saling pengertian adalah pupuknya, saling memberi hadiah adalah bunganya, petunjuk Allah dalam Al Quran dan sunnah adalah matahari yang menyinari dan menghidupkannya, saling mendoakan adalah udara yang diserap dan dihembuskannya. Mimbar cahaya adalah buahnya yang kelak akan didapat saat di surgaNya".


Andini terharu membacanya.

Jarak dan waktu yang memisahkan ternyata tidak mematikan persahabatan. Andini merasa malu, ia merasa tak sebaik dan setulus Armanina. Ia memang masih menyimpan semua hadiah dan surat-surat juga foto dari Nina. Ia simpan di dalam koper kecil di gudang rumahnya. Kesibukan, ujian & perjuangan hidup terpaksa membuatnya demikian.


Arika dan Arina sedari tadi memandangi Andini. Andini tak menyadari.

"Ada apa Kak Andin?" Arika memberanikan diri bertanya.

"Ini photobook dari Mba Nina"

"Ini dari Mba Nina yang tadinya mau ta'aruf sama Kak Hamid?" Arika bertanya tak percaya.

Andini menganngguk menyodorkan dan memperlihatkan foto-fotonya.


"Kak Andin sahabatan sama Kak Nina waktu SMP?" Arina bertanya tak percaya.

Andini tersenyum mengangguk.

"Iya, nama panjangnya Armanina Syahida, kak Andin biasa memanggilnya Arma"

Arika dan Arina seolah tak peduli dengan jawaban Andini.


"Beda banget ya" Arika mengomentari.

"Bener kan aku bilang cantikan fotonya dari aslinya" Arina menimpali.

"Ga boleh begitu" Andini mengingatkan. "Ada orang yang kalau difoto tampak lebih cantik dari aslinya. Namanya wajah photogenic, ini biasanya cocok jadi model untuk produk2 fashion" Andini menjelaskan.


Andini membungkus kembali rajutan-rajutan hadiah dari Nina.

Arika dan Arina melihat. 

"Ini bagus banget" Arina memegang syal.

"Itu mba Nina yang merajut"

"Masa?" Arina seolah tak percaya.

"Armannina dari SMP suka merajut. Bagi dia sehari tangannya tak merajut mungkin akan terasa sakit. Kalau tidak ada target model rajutan, Arma akan membuat bunga-bunga kecil seperti ini" Andini menunjukkan.

"Rajin amet ya" Arika menimpali.

Andini tersenyum.


"Ada apa.ini, kayaknya lagi pada seneng" tiba-tiba Hamid ikut nimbrung.

"Ternyata Mba Nina itu temennya Kak Andini* Arina menjelaskan.

"Oh ya?" Hamid bertanya. Tapi sama sekali tak menunjukkan ekspresi kekagetan.

"Iya, sahabat SMP, nama Aslinya Armanina, Andin manggilnya Arma"

Hamid hanya tersenyum.


"Ini kakak bawakan oleh-oleh" Hamid menyerahkan dua bungkus asinan dan 1 kotak besar es krim.

"Dari mana Kak?" Andini bertanya.

"Abis jalan-jalan sama Utsman, sambil beli obat-obatan pribadi dan bumbu untuk di Muenchen nanti" Hamid menjelaskan.

"Obat-obatan?" Andini bertanya

"Iya, Maret - April itu masuk spring, musim semi, bunga2 mulai mekar, & polen biasanya nyebar dihembus angin. Beberapa orang tidak kuat, biasanya jadi flu & lemes. Kakak beli persediaan obat flu, vitamin & madu yang disana jarang ada" panjang lebar Hamid menjelaskan.

"Ooh" hanya itu yang sanggup Andini ucapkan.


*******************


Dan hari itu pun tiba.

Hari ketika Andini harus melangkah di sisi Hamid sepenuhnya. Tidak bersama keluarga yang penuh kehangatan. Bertiga mereka siap terbang.

Terbang menjemput impian.

Terbang meraih harapan kebahagiaan.

Terbang untuk bisa menabur kebaikan lebih tinggi lagi.

Terbang ke negri yang diimpikan banyak orang untuk berkelana di sana.

Terbang untuk menyimpan kenangan.


Bahagia dan haru mungkin sejoli yang tak terpisahkan. Dan sedikit kesedihan seperti sesuatu yang merekatkan.

Rasa itu berkecamuk.

Andini tahu ia akan merindu.

Merindu bapak dan mama

Merindu ibu, Nura dan adik-adiknya.

Merindu anak-anak asuhnya di dua rumah tahfidz.

Merindu kotanya, merindu negrinya.

Ah, tapi biarlah. Aku akan mengenangnya. Karena Allah ciptakan kenangan agar manusia bisa kembali melihat apa yang dirindu hati. Begitu Andini menghibur diri.


Bapak, mama, ibu, Nura sekeluarga juga Arika dan Arina mengantar ke bandara. Dinda dan Zamzam hadir bersama Umar.


"Ini bukan perpisahan, karena kita akan tetap bersama, akan tetap berbagi kabar dan cerita" Hamid menghibur Andini yang berkaca-kaca.

Andini menganngguk. 

Dipeluknya satu persatu orang yang ia cinta sebelum langkah membawanya terbang menjauh.

"Dinda, aku boleh peluk Umar ya?" pinta Andini

Dinda menganngguk.

Andini jongkok, mensejajarkan diri dengan Umar yang tengah dituntun Dinda.

"Umar anak.sholih, umma mau berangkat, jaga diri baik-baik ya"

Umar menatap tak mengerti.

Andini memeluk Umar erat.

Umar balas memeluk dan menangis.

Ya, Umar menangis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar